Cinta memang buta. Begitu pula wartawan pada kerjaannya.
Maka, meski kadang tak digaji layak oleh perusahaannya, toh, wartawan tetap cinta mati pada pekerjaan dan perusahaannya. Kalau cinta mati pada pekerjaan itu keren. Tapi, cinta mati pada perusahaan meski sudah sadar dieksploitasi, itu yang sampai sekarang tak juga bisa aku pahami.
Dunia Tanpa Kemiskinan Bukanlah Impian
Perdagangan global itu seperti ratusan jalan tol. Perlu ada yang mengatur: batas kecepatan, lampu merah, batas ukuran kendaraan, dan seterusnya. Tanpa aturan, maka truk-truk besar dengan kecepatan tinggi saja yang bisa melewatinya. Aturan tidak hanya akan membuat kendaraan-kendaraan kecil punya kesempatan menggunakan jalan tapi juga disejajarkan dengan kendaraan yang lebih besar.
Tapi bagi Muhammad Yunus, peraih hadiah Nobel Perdamaian 2006, aturan saja tidak cukup. Kendaraan-kendaraan kecil itu harus diberikan jalan yang lebih baik. Sebab dalam praktik selama ini, jalan besar bebas hambatan itu tak hanya menghilangkan kesempatan tapi juga menyingkirkan kendaraan-kendaraan kecil tersebut.
KKM members celebrate modest Galungan
Anton Muhajir, The Jakarta Post, Karangasem | Fri, 03/20/2009 1:12 PM | Bali
This year, there is no imported fruit on the gebogan (fruit platter served as an offering) prepared by Kadek Andariani during ceremonies to celebrate the Balinese Hindu holiday of Galungan in Karangasem.
In the past, Andariani would have picked imported Guan Juan apples, Sunkist oranges, pears and green grapes for the offerings.
Rezeki Berjuta dari Makanan Desa
Sambil mudik, makan-makan tetap harus jalan. Karena itu, mudik Lebaran tahun ini kami gunakan juga untuk cari makanan khas di sekitar desa. Lamongan punya banyak makanan khas. Kalau di Bali sih yang paling banyak ya Sari Laut Lamongan. Tak hanya di Bali. Aku yakin di tiap kota ada warung tenda khas yang kadang-kadang merusak pemandangan kota ini. Hehe..
Aku dan Bunda pun mencuri waktu satu hari untuk mencari makanan-makanan khas desa ini. Sebenarnya mungkin tidak benar-benar khas. Bisa jadi ada juga di tempat lain namun dengan nama beda. Oke. Kalau gitu aku sebut saja sebagai makanan paling terkenal di daerahku.
Susahnya Mengubah Humanis jadi Bisnis
Untuk pertama kalinya Jumat (29/08) kemarin aku ikut ngobrol sambil nyeruput sup alias Soup Chat. Acaranya asik banget. Informal. Tapi isinya sangat serius, soal creative economy. Sayangnya tidak ada waktu khusus untuk saling mengenal. Jadi aku tidak bisa kenal satu per satu, kecuali dengan rombongan belogger Bali Blogger Community (BBC).
But, sebelum itu, aku tulis dulu soal Sup Chat. Obrolan santai kemarin sudah obrolan keduapuluh dari komunitas ini. Aku baca dari profil di situsnya, komunitas diskusi ini berawal dari kegelisahan kurangnya media untuk ngobrol di Denpasar. Aku kopas aja deh sebagian isinya.
Kalau Saja Aku Kenal Blodog Lebih Dalam
Sekitar sepuluh hari lalu aku tertawa dalam hati ketika melihat tayangan TV One soal ikan blodog. Dalam acara 1001 Dunia itu disebut bahwa ikan bernama bahasa Inggris mudskipper itu merupakan salah satu ikan langka di dunia. Sebab blodog hidupnya lebih banyak di darat. Berbeda dengan ikan lain yang hidupnya di dalam air.
Menurut acara yang dipandu Nugie itu, ikan bernama latin Periophthalmus modestus ini adanya di Nikaragua dan satu negara lagi yang aku lupa namanya. Kalimat inilah yang bikin aku ketawa sendiri.
Globalisasi di Balik Kaos Oblong
Lama tidak menulis resensi di blog. Makanya aku posting aja deh resensi ini. Biarin saja resmi banget bahasanya.
Agak lucu juga nemu buku ini. Sekitar sebulan lalu aku dapat kaos oleh-oleh dari bos di kantor yang baru pulang dari Belgia. Seumur hidup sampai sekarang, baru kali ini aku dapat kaos dengan logo fair trade di belakangnya. Ada logo Max Havelaar dan keterangan bahwa kaos itu diproduksi dengan menerapkan prinsip-prinsip fair trade.
Menurut organisasi fair trade sedunia International Federation of Alternative Trade (IFAT), fair trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati. Tujuannya untuk menciptakan keadilan, pembangunan berkelanjutan, melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair serta memihak pada hak-hak produsen dan pekerja yang terpinggirkan.
Bayarlah Visa Begitu Tiba
Meski diwarnai kekhawatiran kalangan pariwisata, Visa on Arrival akhirnya diterapkan pemerintah. Sebagian besar turis tidak keberatan selama jelas informasinya.
Senin, 2 Februari 2004 siang di Terminal Kedatangan Internasional Bandara Ngurah Rai, Tuban, Bali lalu beberapa turis yang baru turun dari pesawat terlihat bengong. Sebab kedatangan mereka “disambut” kunjungan Ketua DPRD Bali IBP Wesnawa, Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya, Kepala Cabang Bandara Ngurah Rai IGM Dhordhy, Kepala Cabang Imigrasi I Gede Widhiarta, serta puluhan pejabat lainnya.
Hari itu merupakan hari kedua pelaksanaan Visa on Arrival (VoA). Para pejabat itu mengecek langsung bagaimana pelaksanaan VoA tersebut. Ketua DPRD misalnya melihat ke beberapa loket di tempat penarikan sedangkan Kepala Dinas Pariwisata bertanya ke beberapa turis.
Sejak 1 Februari pukul pemerintah Indonesia memang mulai memberlakukan VoA tersebut untuk wisatawan mancanegara kecuali dari Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei, Filipina, Vietnam, Hongkong, Makao, Maroko, Peru, dan Chile. Besarnya VoA tersebut US$ 10 untuk mereka yang tinggal 1-3 hari dan US$ 25 bagi mereka yang tinggal 4-30 hari. Untuk mereka yang tinggal lebih dari 30 hari akan diberikan denda US$ 20 per hari.
Pemberlakukan VoA tersebut tetap dilakukan pemerintahdi tengah gencarnya protes pihak pariwisata. Alasan yang disampaikan pelaku wisata tersebut diantaranya karena kondisi pariwisata Indonesia yang belum sepeuhnya pulih akibat bom Bali, Perang Irak, maupun penyakit radang saluran pernafasan akut (SARS). Karena itu, pemberlakukan VoA dianggap bisa memperlemah daya jual pariwisata Indonesia.
Toh, kebijakan itu sudah diterapkan sejak awal Februari lalu. Di Indonesia, Bandara Ngurah Rai merupakan salah satu tempat yang dipergunakan untuk penerapan VoA tersebut. Sejak Minggu lalu itu pun turis asing harus membayar di terminal kedatangan. Di Bandara Ngurah Rai Bali, loket itu terbagi di dua tempat yaitu pintu kedatangan 7 dan 8. Total ada 10 loket untuk imigrasi dan empat loket untuk pembayaran (bank) dalam hal ini adalah BNI.
Tiap turis terlebih dahulu membayar visa tersebut sesuai berapa lama dia akan tinggal kemudian mereka mendapatkan semacam kuitansi pembayaran, merah untuk yang US$ 25 dan hijau untuk US$ 10. Tanda lunas visa itu kemudian diperlihatkan kepada petugas di loket imigrasi yang akan mencocokkan biodata turis itu dengan paspor. Setelah itu, turis tersebut baru mendapat stiker telah membayar visa dari perugas imigrasi yang ditempel di paspor.
Di Bandara Ngurah Rai, 42 penumpang pesaat GA 711 dari Darwin yang mendarat pada pukul 09.45 wita merupakan turis pertama yang mendapat pelayanan VoA. Setelah itu, ratusan turis lain dari Australia, Jerman, Inggris, Taiwan, Jepang, maupun negara lain pun menyusul.
Dalam pantauan GATRA, beberapa turis masih belum tahu dengan adanya pemberlakukan VoA tersebut sehingga mereka tetap nyelonong ketika sudah dikasi tahu petugas. Pada hari pertama pelaksanaan VoA, setidaknya ada 1.800 turis yang harus membayar. Menurut Kacab Bandara Ngurah Rai IGM Dhordy, jumlah itu tidak jauh berbeda dengan hari biasanya.
General Manager Garuda Cabang Bali Kriston Rasmanto pun menyatakan hingga hari kedua pelaksanaan VoA tersebut, jumlah penumpang pesawat Garuda dari berbagai negara tujuan Garuda tetap stabil. “Kalau kita melihat pengaruh penerapan visa on arrival itu dalam satu dua hari ini ya belum bisa,” katanya.
Namun Kriston memberikan gambaran, jumlah penumpang Garuda tetap berkisar antara 60-70%. Saat ini, Garuda Indonesia masih melayani penerbangan internasional ke Perth, Melbourne, Sydney, Darwin, Auckland, Tokyo, Osaka, Nagoya, Singapura, dan Kuala Lumpur.
Ketua Bali Tourism Board Putu Antara yang selama ini getol menolak VoA juga mengatakan belum bisa melihat pengaruh pemberlakuan VoA terdahap pariwisata Bali dalam satu minggu ini. Beberapa hotel yang dihubungi GATRA juga menyatakan hal sama. “Namun kami terus memantau bagaimana penerapannya di lapangan,” kata Antara.
Pemantauan itu dilakukan untuk melihat apakah turis dipersulit atau petugas kewalahan dalam melayani visa tersebut. Kadiparda Bali yang baru dilantik Gede Nurjaya juga memberikan komentar sama. “Kita akan evaluasi sambil berjalan,” katanya.
Umumnya turis mengaku tidak mempermasalahkan adanya VoA tersebut. Mat Fagan, 20 tahun, turis asal Melbourne mengaku sudah diberitahu travel agennya di Australia bahwa sejak 1 Februari ini dia harus membayar visa. Maka, ketika sampai di Bali dia tidak kaget dengan penerapan itu. Selain itu, pemberitahuan juga dilakukan di pesawat sesaat sebelum mendarat. “Saya rasa US$ 25 tidak terlalu mahal,” katanya. Mat datang bersama seorang temannya. Mereka akan tinggal di Bali selama dua minggu.
Toh, beberapa turis juga ada yang keberatan. Seorang turis dari Jerman sampai mengumpat-umpat kepada petugas karena tidak mau bayar visa. Turis itu hendak tinggal di Bali selama 40 hari. Kepada GATRA dia mengaku sebelum ke Indonesia dia pernah mendengar adanya isu penerapan VoA. Maka dia menanyakan hal tersebut kepada Konjen RI di Hamburg, tempat dia tinggal.
Oleh petugas di Konjen dikatakan bahwa karena dia berangkat dari Jerman pada tanggal 31 Januari maka dia tidak usah bayar visa. Nyatanya, dia tetap harus bayar US$ 25. Namun hal paling memberatkan baginya adalah karena dia harus membayar denda US$ 20 per hari setelah lewat 30 hari. “Kalau begini, siapa yang mau datang lagi ke Indonesia,” kata laki-laki bertubuh tambun yang beristri owang Indonesia itu. Sayang, dia tidak mau menyebutkan nama.
Kepala Cabang Imigrasi Ngurah Rai Gede Widhiarta mengaku tidak mengerti alasan orang Jerman tersebut. Sebab hal tersebut sudah keputusan menteri. “Kalau informasi di Konjen salah ya bukan berarti dia tidak bayar,” katanya. [#]