Lalu, Apa Lagi yang Kau Cari?

0 , Permalink 0

Dalam perjalanan menuju bandara, dua pesan masuk bersamaan.

Pertama dari lembaga yang sejak bulan lalu aku bantu untuk riset terkait keamanan komunikasi digital untuk aktivis lingkungan. Aku sedang bekerja sebagai konsultan mereka. Kedua dari lembaga lain yang dua tahun terakhir ini mendukung organisasi kami tak hanya secara internal, tetapi juga pelaksanaan program utama kami.

Isi pesan keduanya kurang lebih sama, meminta aku hadir ke acara di Jakarta. Ada yang sebagai fasilitator diskusi terfokus. Ada yang meski sebagai peserta, tetapi aku diminta tetap hadir karena sebagai pengusul kegiatan dan pengelola program lembaga.

Sambil meringkuk di kursi belakang mobil menuju bandara malam itu, aku pun menjawab bahwa akan mengusahakan untuk menghadiri dua undangan tersebut. Sesuatu yang makin hari terasa makin melelahkan. Setidaknya hari-hari ini.

Kesediaan untuk hadir itu aku sampaikan bahkan ketika sedang mengawali perjalanan lain yang rasanya melelahkan, bahkan sebelum aku memulainya: Jakarta sehari, Banjarmasin tiga hari, Yogyakarta tiga hari, dan Jakarta (lagi) tiga hari.

Pukul 00:00 WIB, ketika akhirnya bisa rebahan di hotel setelah tumben-tumben berangkat malam dari Denpasar, lelah fisik dan mental itu terasa sekali. Bahkan ketika bangun pagi ini.

Seperti biasa, begitu bangun, aku cuci muka, buka laptop, bekerja. Lalu, ketika membuka Spotify, aku pilih lagu “Apa?” dari Petra Sihombing.

Mau apa lagi hari ini?
Memuaskan keinginan hati
Memang sulit berhenti
Tapi, bisa nanti..

Apa yang kau
Apa yang kau cari
Nanti juga
Semua yang kau dapati
Tidak akan kau bawa mati..

Rasanya kayak ditonjok lagi. Memang apa, sih, yang kamu cari dari semua ini? Aku jadi mikir-mikir lagi.

Sumbernya ada pada diri sendiri. Aku sudah tahu sebenarnya bahwa tubuh dan pikiran memiliki batas. Namun, ketika ada tawaran-tawaran baru, seringkali tidak bisa menolak. Pekerjaan sebagai konsultan hanya salah satunya.

Dari awal aku sudah agak ragu untuk menerima pekerjaan itu melihat beban pekerjaan-pekerjaan lain yang sedang menumpuk. Nyatanya, setelah terus diminta dan diminta, akhirnya aku terima juga itu. “Ah, toh, pekerjaan hanya sebulan. Bisalah diselesaikan sembari ngerjain yang lain..”

Pekerjaan itu memang akhirnya berjalan, sih. Tahapannya sesuai dengan rencana, tetapi begitu waktunya menulis laporan, ternyata keteteran juga. Dari seharusnya beres akhir bulan lalu, ternyata sekarang masih sedang dikerjakan.

Parahnya lagi, laporan sebagai konsultan itu hanya salah satu dari pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Masih ada rencana program setahun ke depan untuk lembaga anu, proposal perpanjangan untuk lembaga inu, laporan audit keamanan digital untuk lembaga ini dan itu, proposal baru untuk lembaga yang kemarin ngajak ngobrol, laporan analisis triwulan kedua 2023. Banyaklah.

Semua itu harus diselesaikan sembari tetap mengerjakan program-program rutin lainnya, memantau pelanggaran hak-hak digital juga mendampingi aktivis dan organisasi biar lebih aman perilaku digitalnya.

Lalu, kembali ke pertanyaan tadi: untuk apa semua ini? Demi apa sampai capek fisik dan mental seperti ini?

Itu pertanyaan yang terus muncul, sih. Dan jawabannya juga kurang lebih sama. Ada yang karena memang panggilan atas nama tanggung jawab moral dan intelektual. Senang karena merasa punya keahlian yang ternyata diperlukan banyak orang. Senang karena masih bisa membagi pengetahuan dan pengalaman. Senang karena bisa mendapatkan imbalan memadai dari semua pekerjaan ini.

Namun, di sisi lain juga memang ada karena tergoda semata. Sudah tahu pekerjaan lain menumpuk, tapi masih mengiyakan. Bukan karena tidak enak menolak, tapi juga tergoda: bisa, kok, mengerjakannya.

Merasa bisa, padahal megap-megap mengerjakannya. Begitu capek, langsung mengeluh pada diri sendiri. Begitu pas santai leha-leha, mengeluh juga karena capek tidak ngerjain apa-apa.

Jadi, ya sudahlah. Silakan menikmati lelah fisik dan mentalnya. Toh, ini memang pilihanmu sendiri. Ingat saja, ketika sudah terlalu lelah, jangan lupa berhenti dulu. Istirahat. Berikan waktu fisik dan mentalmu untuk jeda.

Ya?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *