Apa perubahan paling besar dalam hidupmu tahun ini?
Pertanyaan itu aku ajukan kepada petani peserta pelatihan menulis cerita perubahan pada Maret lalu. Kami memulai pelatihan dengan refleksi tentang diri kami sendiri.
Jawaban petani-petani muda di Jembrana, kabupaten paling barat di Bali itu beragam. Ada yang panen kakaonya bertambah. Ada yang mulai bisa Bahasa Inggris. Ada yang membeli kebun baru.
Aku sendiri kemudian berpikir, kalau aku apa ya?
Setelah pikir-pikir, menurutku kok salah satu perubahan paling besar dalam hidupku tahun ini adalah keberanian menonaktifkan akun media sosial paling populer saat ini, Facebook.
Iya. Menghapus akun Facebook memang perlu keberanian, kok. Agak lebay sih, tetapi rasanya memang tak mudah untuk memulai saat itu. Aku ragu-ragu. Benarkah harus menghapusnya?
Namun, aku putuskan. Mari coba saja hidup tanpa Facebook.
Pemicunya waktu itu karena merasa capek saja dengan penandaan (tagging) oleh teman-teman. Tujuannya beragam. Ada yang sekadar berbagi catatan atau foto. Adayang mau pamer. Ada pula yang mau kampanye politik.
Memang penandaan itu bisa diatur, tetapi aku telanjur malas.
Itu kan hanya pemicu (trigger). Di balik itu, rasanya memang makin capek dan penat mendapatkan informasi yang begitu banyak di Facebook. Melihat perdebatan tak berkesudahan soal pilihan politik, agama, atau hal-hal gak penting lainnya.
Pikiran rasanya mulai jenuh juga diserbu begitu banyak informasi, terutama hal-hal amat personal dari orang lain. Atau drama politik yang penuh caci maki. Atau orang-orang yang pamer keberhasilan ataupun kegalauan.
Aku melihat Facebook makin menawarkan kedekatan yang semu. Tidak ada lagi keintiman. Makin jarang kehangatan sebagai kerabat atau teman. Orang-orang hanya mau bercerita tentang mereka, termasuk aku sendiri. Facebook makin hari hanya menjadi etalase ego. Keakuan.
Di sisi lain semua aktivitas itu juga menghabiskan banyak waktu. Begitu buka Internet, langsung buka Facebook. Lalu gulir-gulir melihat linimasa sampai lupa pada urusan-urusan lain. Kecanduan pada Facebook mulai pada tingkat membuat gelisah.
Aku pikir-pikir, Facebook mulai menyakitkan.
Pada saat yang sama, makin banyak cerita tentang eksploitasi data pengguna. Sesama pengguna melakukan penguntitan (stalking) atau bahkan pengungkapan data pribadi tanpa izin (doxing). Tak hanya oleh sesama pengguna, penyalahgunaan data pribadi juga dilakukan oleh Facebook atau pihak ketiga.
Maka, sejak Januari awal tahun ini, aku pun menonaktifkan akun di media sosial miliaran manusia ini. Awalnya hanya mencoba selama seminggu. Pengen tahu apakah ada yang hilang atau bagaimana. Eh, ternyata selama masa percobaan itu, rasanya malah jauh lebih tenang.
Pagi-pagi aku tak perlu membuka akun Facebook begitu buka laptop dan Internetan. Pas kerja juga tidak perlu terganggu hanya karena keseringan buka Facebook. Hal paling penting, otak rasanya lebih punya ruang kosong tanpa jejalan informasi dari berbagai penjuru yang datang bertubi-tubi.
Setahun berlalu tanpa Facebook, apa yang terasa?
Kehilangan paling terasa adalah kabar tentang kerabat atau teman-teman. Tanpa Facebook, aku tidak bisa mengikuti kabar terbaru dari mereka. Biasanya kan mudah saja kalau mau tahu tentang mereka. Tinggal buka linimasa, cek apa saja yang mereka sedang kerjakan.
Namun, kehilangan kabar-kabar baru itu juga bukan sesuatu yang merugikan. Hidup justru berjalan lebih santai. Lebih ringan. Lebih rileks.
Untuk kabar-kabar terbaru lain, Twitter masih menjadi media sosial terbaik. Itu pun lebih pada topik-topik spesifik sesuai minat, seperti lingkungan, jurnalisme, aktivisme, media sosial, atau akhir-akhir ini semua isu terkait hak-hak digital.
Hampir setahun tanpa Facebook, aku merasa hidup jadi lebih tenang. Tak ada serbuan informasi bertubi-tubi yang justru menyesakkan. Juga tanpa keinginan berlebih untuk pamer ego demi komentar atau sekadar jempol.
December 21, 2018
ah ya, aku jadi inget mau nulis juga soal ini.
aku masih jadi pengguna Facebook sih ya walau udah gak pake apps-nya lagi. Cukup buat share konten2 menarik dan positif aja sih.