Menyepi di Antara Rimbun Kebun Pupuan

0 , Permalink 0
Pemandangan dari kamar di Temuku Pupuan, Bali. Foto Anton Muhajir.

Tahun ini kami kembali merayakan ulang tahun pernikahan di Pupuan.

Setelah lebih seminggu berselang, aku kemudian baru sadar. Ternyata di antara tempat-tempat lain di Bali, Pupuan menjadi tempat paling sering kami kunjungi untuk merayakan ulang tahun pernikahan. Kami sudah tiga merayakannya di sini.

Tempat lainnya tersebar di Bedugul, Munduk, dan Sidemen. Semuanya tempat berhawa sejuk di kawasan pegunungan. Tidak ada kawasan pantai sama sekali.

Gara-gara baru sadar itu, aku jadi mikir, kenapa Pupuan? Iya, ya. Kenapa Pupuan, ya?Tempat ini jauh dan tidak populer. Perlu waktu sekitar 2 jam dari Denpasar melewati jalan raya Denpasar – Gilimanuk yang amat padat dan melelahkan. Pupuan juga tidak memiliki tempat wisata menarik semacam sungai di Sidemen atau terasering sawah di Ubud.

Setelah mikir-mikir lagi, bisa jadi justru itulah daya tarik Pupuan. Dia masih relatif sepi dan tidak populer. Perjalanan ke sini, terutama setelah melewati Desa Bajra juga asyik sekali. Sawah-sawah berundak di kanan kiri. Udara sejuk. Lalu lintas sepi.

Jika ingin berhenti, ada beberapa resto tepi sawah dengan pemandangan memanjakan mata, terutama di Desa Belimbing, Kecamatan Selemadeg. Kami biasa singgah di salah satu warung ini saat berangkat atau kembali. Begitu pula dengan perjalanan kali ini.

Karena relatif tidak populer, Pupuan tidak menawarkan banyak tempat menginap. Namun, tetap ada beberapa penginapan asyik untuk dinikmati. Inilah tiga di antaranya yang pernah kami singgahi.

Pertama, Sanda Boutique Villas di Desa Sanda, Pupuan.

Vila ini terdiri dari beberapa unit bangunan. Kamarnya cukup luas. Tidak hanya kamar untuk tidur, tetapi juga punya ruang keluarga di belakang. Dari ruang santai inilah kita bisa menikmati suasana sekitarnya, kebun luas terbuka.

Pemandangan langsung kalau dari kamar sebenarnya tidak terlalu menarik. Hanya kebun dan taman relatif tertata dan hijau rapi. Namun, suasana saat kami menginap saat itu dan terus ada dalam ingatanku adalah syahdunya suasana senja.

Kami duduk di kursi kayu menjelang matahari tenggelam. Ruangan di belakang itu berisi jendela dengan kaca lebar. Petang itu cahaya matahari terasa hangat. Masuk dari sela-sela kaca yang terbuka. Jatuh di kamar ketika kami duduk berdua menatap senja.

Romantis dan puitis sekali rasanya waktu itu.

Sanda Boutique Villas punya beberapa pilihan tipe kamar. Kalau tak salah waktu itu kami pesan yang seharga Rp 750.000 sudah termasuk sarapan. Aku cek sekarang, harganya rata-rata tak jauh berbeda.

Nilai plus vila ini adalah dia punya kolam renang. Tempatnya di tepi semacam tebing. Jadi, bisa melihat hamparan bukit lebih luas di kejauhan, termasuk matahari tenggelam. Cuma, sayangnya, kurang terawat sehingga cuma bisa untuk duduk-duduk, bukan berenang.

Pemandangan dari kamar di Kebun Kita Bali. Foto Anton Muhajir.

Kedua, Kebun Kita Bali di Desa Padangan, Pupuan.

Jika Sanda Boutique Villa dengan mudah terlihat dari jalan raya Bajera – Pupuan, maka Kebun Kita Bali tidak memasang tanda sama sekali. Lokasinya harus masuk dulu ke Desa Padangan, kiri jalan jika dari arah Bajera ke Pupuan.

Ketika sudah ketemu tandanya pun, tetap lumayan susah menemukan tempat ini. Dari jalan raya harus turun lagi melewati jalan kecil hanya cukup untuk satu motor dan curam. Namun, ketika sudah sampai di lokasinya, tempat ini memang asyik. Banget.

Kebun Kita Bali menggunakan konsep cottage yang terpisah satu sama lain. Tipe kamar berbeda-beda ukuran dan harganya. Ada yang deluxe, family, juga tenda mewah alias glamour camping. Harga paling murah waktu itu sih Rp 200.000 untuk yang model tenda. Kalau kamar sekitar Rp 500.000 per malam.

Hal paling asyik dari Kebun Kita Bali adalah lansekapnya. Kamar-kamar di sini berada di tengah kebun. Dikepung rimbun aneka pohon, termasuk kopi robusta, alpukat, manggis, dan banyak lagi.

Kamar yang kami pilih juga punya beranda menghadap ke kebun. Posisinya yang berada di lantai dua, karena lansekap curam sehingga perlu tiang-tiang penyangga, membuat beranda terasa langsung di tengah kebun. Dekat dengan pepohonan. Rindang dan adem.

Tambahan lainnya, kita bisa jalan-jalan menyusuri kebun termasuk sungai kecil di bagian bawah kawasan ini. Ada pula restoran dengan menu-menu lokal.

Ketiga, Temuku Pupuan di Desa Batungsel, Pupuan.

Lokasinya searah dengan Kebun Kita Bali, harus masuk ke pedesaan jika dari arah jalan raya Bajera – Pupuan. Vila ini berada di pinggir jalan raya, tetapi tak ada tulisan sebagai penanda.

Vila ini sebenarnya rumah peristirahatan pribadi, tetapi dibuka juga untuk umum. Karena itu dia sangat terasa sangat personal. Serasa rumah sendiri.

Rumah ini terdiri dari tiga kamar dalam satu bangunan. Ada ruang makan, ruang kumpul keluarga, dan halaman belakang yang luasnya kira-kira 10 are. Lebih dari cukup untuk main sepak bola dua kesebelasan.

Dari halaman belakang ini ada akses langsung ke sawah dan kebun. Keduanya menjadi bagian dari fasilitas yang bisa dinikmati semua tamu. Jika kurang, bisa ke kebun organik berjarak sekitar 200 meter dari sini untuk melihat bagaimana praktik pertanian organik.

Tarif di Temuku Pupuan relatif lebih mahal dibandingkan dua vila lain. Sebenarnya mereka mematok harga Rp 1,25 juta untuk satu rumah dengan tiga kamar. Cuma, karena kami hanya perlu satu kamar, jadilah kami bayar Rp 750.000 sudah termasuk sarapan dengan roti produksi mereka yang lembut dan enak sekali. Sebuah keramahan yang seolah terus memanggil untuk datang lagi.

Tahun depan mungkin..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *