Hidup Lebih Tenang sebagai Ignoran, tapi…

0 , , Permalink 0
Sekadar ilustrasi. Tak ada yang benar-benar tenang dalam hidup ini. 🙂

Ignoran berasal dari kata bahasa Inggris.

Akar katanya adalah ignore (bahasa Inggris). Dalam bahasa Indonesia berarti mengabaikan, memungkiri, mengesampingkan, dan semacamnya. Ignorant berarti orang yang melakukan itu semua. Dalam bahasa lebih lugas, ignorant adalah orang yang tidak peduli. Masa bodoh dengan apapun yang terjadi.

Dua bulan terakhir, begitulah yang aku lakukan. Cuek bebek. Tidak mau tahu apapun yang sedang terjadi di luar urusanku. Tidak baca berita di media. Tidak membuka media sosial. Tidak peduli urusan orang lain.

Pilihan menjadi ignoran terjadi setelah aku memutuskan untuk puasa media sosial. Detoks digital. Aku menonaktifkan dua media sosial yang biasanya sering aku pakai, Twitter dan Instagram. Kalau Facebook, sih, malah sudah nonaktif sejak lima tahun silam.

Tidak ada kejadian khusus sebagai pemicu. Pilihan detoks digital itu hanya akumulasi dari situasi yang terus terjadi. Prihatin melihat orang-orang lebih khidmat menunduk dengan ponsel masing-masing. Cemas melihat media sosial yang makin panas menjelang Pemilu tahun depan.

Marah karena Twitter makin rakus pada uang dan tidak ramah pada kelompok marjinal setelah dikuasai Elon Musk, termasuk mengganti namanya jadi X. Iri berlebihan, atau setidaknya sinis, ketika melihat orang pamer kebahagiaan di Instagram.

Makin hari, bagiku, media sosial rasanya lebih banyak membawa keburukan. Maka, aku pun memilih untuk menepi. Menjauhkan diri dari hiruk pikuk media sosial.

Rasanya memang menenangkan. Aku tidak perlu buru-buru mengunggah cerita ke Twitter atau Instagram ketika menemukan hal menarik. Padahal, biasanya ada saja yang kayak harus segera diunggah ketika menjalani hidup sehari-hari. Sekadar lari pagi. Lihat kucing lucu. Makan enak. Atau, terutama pas kerja (dan jalan-jalan) di luar kota.

Dengan puasa digital, aku jadi lebih punya banyak waktu untuk bekerja dan membaca. Saat bekerja, tak perlu lagi terganggu oleh keinginan untuk membuka Twitter, Instagram, ataupun Facebook. Kerja jadi terasa lebih satset batbet.

Pada waktu luang, tak perlu lagi gulir-gulir media sosial untuk melihat kabar-kabar terbaru. Paling hanya buka pesan di aplikasi pesan ringkas Wire, WhatsApp, Telegram, dan Signal. Tak lebih dari 15 menit, tuntaslah semuanya. Sisanya taruh ponsel, buka buku.

Aku cek di pengaturan ponsel, waktu penggunaan ponsel hanya sekitar 1,5 jam per hari. Sebaliknya, waktu untuk baca buku justru lebih banyak. Saat santai banget, sehari bisa satu buku setebal 250an halaman. Bahkan novel Namaku Alam setebal 438 halaman pun aku selesaikan tak lebih dari 24 jam.

Puasa media sosial membuatku tidak hanya tenang, tapi (rasanya) juga lebih rajin bekerja dan membaca. Tanpa paparan informasi berlebihan, hidup jadi lebih tenang. Tanpa candu media sosial, lebih banyak hal produktif bisa kita lakukan.

Namun, setiap aksi memiliki dua sisi. Setiap tindakan akan punya konsekuensi. Sebulan terakhir, aku mulai merasakan semacam “dosa”. Egois banget rasanya hanya berpikir tentang diri sendiri ketika tahu bahwa banyak hal sedang tidak baik-baik saja. Aneh sekali ketika hanya berpikir untuk berpuasa media sosial sementara orang lain juga ingin tahu tentang apa yang terjadi pada kita.

Mengisolasi diri, menjadi ignoran, ternyata juga memuakkan. Menciptakan pagar tinggi untuk diri sendiri sementara dunia di luar sedang berantakan jelas pengkhianatan moral.

Karena itu, detoks total mungkin bukan pilihan tetap. Bagaimanapun juga, ada sisi-sisi positif dari media sosial yang bisa kita manfaatkan. Asal tidak sampai kecanduan, ada baiknya sesekali tetap memantau dan berkabar di media sosial tentu akan lebih baik.

Jadi, mau aktif di Twitter, Facebook, dan Instagram lagi, Mas? Hehehe..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *