Tak Bisa Lari dari Serbuan AI

0 Permalink 0
Foto ini pun dibuat AI dengan perintah “artificial intelligence replace a journalist to write an article.”

Wajah Jokowi terpampang di laptop adik pagi ini.

Foto itu terapit di antara dua simbol, mikrofon di kiri dan tanda unggah di kanan. Di pojok kiri atas layar ada tulisan nama platform, voice.ai.

Karena tumben melihat situs web itu, aku bertanya ke adik. “Web apa, tuh, Dik?” tanyaku.

“Web a.i, buat main suara,” jawabnya.

“Gimana cara mainnya?”

“Masukin suara aja pas main. Nanti suaranya berubah sesuai karakternya. Teman-teman adik pada pake buat main gim.”

Aku tidak tahu gim mana yang dimaksud, tetapi adik paling sering main dua gim di laptop: Minecraft dan Valorant. Alih suara itu dia gunakan untuk ngobrol dengan teman-temannya pas main gim. Salah satu karakter suara yang sering dipakai anak-anak itu adalah karakter Joko Widodo, Presiden Indonesia.

Buset, dah. Ini ternyata anak-anak pun sudah main-main pakai AI, batinku.

Sekitar seminggu sebelumnya, artificial intelligence (AI) alias kecerdasaan buatan itu telah menjadi topik sarapan kami. Kami membahas bagaimana AI digunakan dalam kerja-kerja saat ini, termasuk pembuatan desain, lagu, artikel, animasi, dan banyak lagi.

Aku lupa bagaimana mulainya, tetapi salah satu poin diskusi itu datang dari Bani. “Aku benci sekali pakai AI. Kelihatan sekali artifisialnya,” kata Bani.

“Ayah tahu pekerja Hollywood lagi protes soal AI? Mereka takut pekerjaannya akan diganti AI,” kata Bani.

Aku menggelengkan kepala. Aku memang tidak pernah mendengar sebelumnya. Rasanya cuma kayak ketinggalan banget. Tidak tahu tentang isu ini apalagi kontroversinya.

Setelah itu, aku baru mencari-cari informasi yang dimaksud Bani soal protes para pekerja film di Hollywood terhadap AI. Para penulis, desainer, dan bahkan aktor itu sendiri takut AI akan menggantikan posisi mereka.

Jika para pekerja film di Hollywood sampai protes, aku cuma heran. Kenapa AI tiba-tiba menjadi bagian dari diskusi di rumah kami? Padahal, aku sudah coba untuk lari dari pertanyaan tentang AI ini.

Juni lalu, dalam sebuah pelatihan di Surabaya, ada peserta bertanya, “Apakah SAFEnet juga memberikan perhatian terhadap perkembangan AI dan dampaknya pada HAM?”

“Belum,” jawabku.

Setahuku kami memang belum pernah membahas secara intens soal topik ini. Secara pribadi, aku juga merasa AI ini hanya semacam gimmick, seperti juga jargon-jargon lain dalam teknologi: metaverse, big data, internet 4.0, dan seterusnya.

Karena itu, secara personal, aku merasa tak perlu-perlu amat untuk tahu lebih lanjut soal ini. Tidak juga membaca buku, jurnal, atau informasi lain terkait makhluk bernama AI ini. Tidak, misalnya, seantusias ketika membaca buku-buku perihal keamanan digital, privasi, atau media sosial yang lagi aku gandrungi.

Nyatanya, mau tak mau, akhirnya aku harus menyerah juga.

Pekan lalu, saat diskusi dan arisan untuk teman-teman aktivis gerakan hak-hak digital di Jakarta, isu soal AI ini muncul lagi. Kami sebenarnya membahas topik tentang bagaimana masyarakat sipil harus mengantisipasi Pemilu 2024. Toh, isu soal AI muncul juga. “Kawan-kawan masyarakat sipil harus mulai berinvestasi pada isu AI,” kata pemateri diskusi. Dia seorang peneliti ilmu sosial politik terkemuka Indonesia dan dekan sebuah kampus di Jakarta.

Investasi yang dia maksud adalah dengan mulai mempelajari atau bahkan menggunakan AI dalam kerja-kerja advokasi masyarakat sipil. Sebab, katanya, semua akan AI pada waktunya.

Jadi, baiklah kalau begitu. Mari kita hadapi makhluk bernama AI. Tidak harus ahli, tetapi setidaknya tahu dan, syukur-syukur, bisa memanfaatkannya seperti tulisan ini.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *