Serangan Digital Bukanlah Pepesan Tongkol

0 , Permalink 0
Insiden dan serangan digital sepanjang tahun 2022 berdasarkan pemantauan SAFEnet.

Ancaman terhadap pengguna internet di Indonesia datang dari Arfian.

Ketua Umum Pasukan 08 itu mengatakan akan melacak alamat rumah pengguna internet yang dia anggap menyebarkan ujaran kebencian di dunia maya, terutama terhadap Prabowo Subianto, bakal calon presiden yang mereka dukung.

“….. sebuah akun yang melakukan ujaran kebencian, IP Address-nya bisa di-trace (dilacak). Sampai ke titik lokasi, by name, by address rumahnya. Jadi mohon semua netizen pengguna media sosial harap bisa menjaga jagat maya ini,” kata Arfian sebagaimana dikutip Tribunnews (8/5/2023).

Pasukan 08 adalah organ relawan pendukung Prabowo Subianto. Menurut Arfian, sebagian anggotanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan forensik digital dengan sertifikasi internasional. Karena itu, mereka mengklaim mampu melacak dan melakukan forensik digital akun-akun yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian di media sosial.

Mereka akan memantau semua media sosial, termasuk Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, dan Tiktok. Semua akun di media-media sosial itu akan mereka pantau.

“Apakah akun-akun ini memang ada indikasi pelanggaran UU ITE, terkait cyber bullying, cyber crime, dll. Itu nanti akan bisa forensik dan kita akan buatkan laporan resminya kepada pihak-pihak terkait,” lanjutnya.

Ancaman dari Arfian menjadi penanda babak baru “perang digital” menjelang Pemilu di Indonesia tahun depan. Dari sebelumnya sekadar menjadi tim sukses, pasukan siber seperti Pasukan 08 kini juga aktif “menyerang”. Mereka terlibat dalam perang informasi tak hanya mengampanyekan calonnya, tetapi juga memantau dan melaporkan akun-akun yang mereka anggap merugikan pihaknya.

Penggunaan teknologi informasi komunikasi, wabilkhusus media sosial, sebagai bagian dari kampanye politik tentu menjadi hal lumrah. Praktik ini telah terjadi di berbagai dunia. Barack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44, menggunakan Twitter untuk mengampanyekan pencalonannya sebagai presiden Amerika Serikat maupun menyebarluaskan kebijakannya sebagai presiden.

Penggantinya, Donald Trump, bahkan lebih aktif dan agresif lagi menggunakan akun Twitter, termasuk mengajak pendukungnya untuk menduduki Gedung Putih pada Januari 2021. Di Filipina, anak bekas diktator Ferdinand Marcos terpilih sebagai presiden pada tahun lalu karena kekuatan Tiktok. Dalam konteks berbeda, media sosial juga menjadi bagian dari alat kampanye menebar kebencian yang berujung dengan genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar maupun.

Di Indonesia, perang tanda pagar (hashtag) telah terjadi pada dua kali pemilu pada 2014 dan 2019. Misalnya perang tagar #Jokowi2Periode dan #2019PresidenBaru sebagai tandingan.

Berbeda

Hal yang membuat berbeda dengan ancaman oleh Arfian adalah karena, sekali lagi, dia tidak hanya mengampanyekan calonnya, tetapi juga mengintimidasi lawan politik ataupun pengkritik calonnya. Ancaman Arfian adalah bentuk baru agresivitas politik secara digital.

Ancaman itu semakin menegaskan bahwa serangan digital di Indonesia cenderung semakin naik menjelang tahun politik. Hal ini sesuai dengan temuan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) selama lima tahun terakhir. Pemantauan SAFEnet menunjukkan bahwa serangan digital di Indonesia terkait erat dengan situasi politik nasional maupun lokal.

Pada tahun 2019, misalnya, serangan digital marak terjadi terhadap aktivis yang melakukan aksi dengan tagar #ReformasiDikorupsi. Setahun kemudian, serangan digital juga terjadi terhadap aktivis yang menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja.

Pada tahun 2021, serangan masif terjadi pada aktivis yang menolak pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan pada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun serangan digital pada tahun 2022 terjadi masif pada netizen yang menolak Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) Nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Serangan itu terjadi dalam bentuk beragam, tetapi terutama berupa peretasan akun WhatsApp, Instagram, dan Telegram. Sasaran utamanya adalah aktivis. Pemantauan SAFEnet menunjukkan bahwa persentase korban di kalangan kelompok kritis, seperti aktivis, jurnalis, dan staf organisasi masyarakat sipil juga terus naik. Dari 85 insiden dan serangan pada tahun 2020 menjadi 114 pada 2021 dan 140 pada 2022.

Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa serangan digital di Indonesia tidak terjadi di ruang kosong. Dia terjadi sebagai imbas dari menghangat situasi politik. Serangan digital tidaklah seperti pepesan tongkol yang nikmat disantap bersama sepiring nasi hangat.

Oleh karena itu, ancaman yang disampaikan oleh Arfian dan sangat mungkin akan diikuti para pendukung calon-calon presiden lain, harus diantisipasi dan diwaspadai. Sebab, jika tidak, maka ranah digital Indonesia akan semakin menjadi belantara maya tanpa aturan. Mereka yang punya kekuatan politik, teknis, maupun sumber daya lain, akan menjadi vigilante. Preman yang bisa melakukan represi seolah hukum di ranah digital adalah hukum rimba.

Catatan:
Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari pelatihan menulis artikel populer yang diadakan SAFEnet dengan pengampu Ahmad Arif, jurnalis Kompas, pada 15 dan 21 September 2023.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *