Tidak ada lagi drama dan pekerjaan tertunda.
Dibandingkan tahun lalu, penyusunan tahun ini lebih lancar. Maka, Laporan Situasi Hak-hak Digital 2021 pun bisa diluncurkan tepat waktu. Maju sebulan dibandingkan tahun lalu. Senangnya hatiku..
Peluncuran laporan kami laksanakan pada pekan lalu secara daring. Ringkasan laporan dan proses diskusinya bisa dibaca di situs web SAFEnet. Kalau mau baca laporan versi lengkap bisa diunduh dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris.
Tulisan personal ini sekadar mencatat proses di belakangnya. Tentang bagaimana suka duka dan refleksi di baliknya. Sebagai salah satu yang ikut melahirkan tradisi ini, penting rasanya untuk terus mencatat prosesnya sebagai bahan belajar.
Sejauh yang aku pikirkan, lancarnya pengerjaan laporan tahun ini tak bisa dilepaskan dari beberapa hal.
Pertama, ini pengerjaan laporan yang keempat. Kami sudah mengerjakannya sejak 2019 sehingga makin terbiasa dengan pola kerja maupun kontennya. Ketika melakukannya pertama kali, kami masih mencari-cari cara kerja dan struktur laporan yang kira-kira tepat dengan kebutuhan.
Tak mudah karena kami berangkat dari orang-orang nonpeneliti. Harus membaca banyak referensi, memahami materi, dan mencoba-coba alur maupun struktur yang tepat. Proses itu terus berjalan sampai laporan terakhir yang baru kami terbitkan.
Ala bisa karena biasa. Pada laporan kedua, ketiga, dan keempat, rasanya makin lantjar djaja saja.
Kedua, sudah ada tim kerja. Ini hal yang benar-benar baru. Mulai tahun lalu, SAFEnet sudah punya tim pemantauan pelanggaran hak-hak digital ini. Dengan dukungan salah satu lembaga filantropi, kami bisa membentuk tim kerja yang melakukan pemantauan secara lebih ajek.
Kami membagi tim ini sesuai tiga isu utama dalam SAFEnet yang juga menjadi struktur utama laporan: akses Internet, kebebasan berekspresi, keamanan digital, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Tiap bagian ada penanggung jawabnya.
Jika sebelumnya kami bekerja secara sukarela, maka sekarang (belajar) lebih profesional. Tim pemantauan ini bekerja sepanjang tahun. Memantau media sosial, media arus utama, dan forum-forum. Mencatat dan merekap tiap insiden. Terakhir, kami menganalisisnya.
Karena sudah terbiasa dan memiliki tim kerja itu, maka kerja-kerja pemantauan, analisis, dan penyusunan laporan pun terasa lebih lancar. Begitu tahun 2021 menjelang berakhir, kami sudah memiliki data pemantauan sepanjang tahun tersebut. Kami tinggal cek ricek karena data mentahnya sudah ada.
Hasilnya? Ternyata mengkhawatirkan.
Jika dari sisi proses kerjanya lebih menyenangkan, tidak demikian dengan data-data yang kami kumpulkan dan analisis. Dibandingkan tahun sebelumnya, pelanggaran hak-hak digital di Indonesia ternyata makin meningkat kualitas dan kuantitas.
Dari sisi akses, pembatasan akses Internet makin sering terjadi, terutama di Papua. Entah karena alasan politis atau teknis, pemutusan akses Internet di Papua ini terjadi hampir tiap bulan sepanjang 2021 lalu.
Ketika akses makin dibatasi, begitu pula dengan kebebasan berekspresi. Bagian paling terasa adalah ancaman kriminalisasi terhadap aktivis. Setidaknya ada dua kasus penting terkait kriminalisasi terhadap aktivis ini, yaitu dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Direktur Eksekutif Lokataru.
Empat aktivis itu dilaporkan untuk dua hal berbeda oleh dua pejabat penting di negara ini, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Dua pejabat publik ini hanya contoh bagaimana pejabat-pejabat di negara ini makin alergi terhadap kritik. Bukannya menjawab kritik tersebut, mereka justru memilih menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk mengancam aktivis.
Represi terhadap aktivis ini makin terasa ketika melihat dari sisi keamanan digital. Korban serangan digital paling banyak sepanjang 2021 adalah aktivis, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil. Jumlahnya hampir 60 persen dari total 197 serangan.
Jadi, lengkaplah sudah ancaman terhadap aktivis di Indopahit ini. Sudah akses terhadap Internet dibatasi, ekspresi dikriminalisasi, aktivitas digital mereka pun direpresi. Lawannya pun tak tanggung-tanggung, para penguasa negeri. Ya, makin benjutlah mereka..
Leave a Reply