Akhir Mei ini, kami genap tiga tahun berkantor di Uma.
Sebutan “Uma” adalah singkatan dari nama lokasi di mana kantor ini berada, Banjar Umadesa, Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara. Banjar ini berada di bagian paling utara Denpasar, berbatasan dengan Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
Kantor kami berada di kawasan pemukiman baru. Lokasi kantor persis di pinggir sungai, Tukad Ayung yang panjangnya mencapai 68,5 km. Halaman belakang kantor berupa sempadan sungai. Kami sengaja sisakan jarak tanah kosong sekitar 5 meter dari sungai.
Penataan halaman belakang itu sendiri memang bagian dari konsep awal bangunan ini. Kami ingin mewujudkan impian membangun kantor ramah lingkungan.
Mimpi itu kami bangun sejak akhir Desember 2018 ketika pertama kali tukang bangunan mencangkul lahan. Kami mulai membangun kantor di atas tanah pribadi setelah sepuluh tahun ngontrak di tempat kakak sendiri, di kawasan Ongan, Gatsu Timur, Denpasar.
Lahan untuk kantor baru ini luasnya 300 meter persegi atau tiga are. Kami membaginya dalam tiga bagian utama dari atas ke bawah, yaitu tempat parkir, bangunan, dan halaman belakang. Masing-masing 100 meter persegi. Pas banget.
Bangunan seluas 100 meter juga terbagi dalam tiga bagian. Paling bawah untuk dapur dan ruang rapat khusus. Lantai kedua untuk tempat bekerja. Paling atas untuk tempat istirahat.
Karena kontur tanah cenderung miring ke arah sungai, pembagian lantai kantor itu relatif mudah. Tidak perlu ada penggalian atau penambahan tanah untuk menjadi bagian dari bangunan.
Konsep kantor ramah lingkungan kami wujudkan dalam bentuk bangunan terbuka, minim energi, dan penggunaan bahan bekas.
Beruntunglah kami punya teman seperti Gung Kayon, arsitek yang memang ahli di bidang arsitektur Bali dengan segala filosofinya dan, yang lebih penting lagi, memiliki kemampuan langka dalam penerapan energi berkelanjutan. Sehari-hari, Gung Kayon menggunakan panas matahari sebagai sumber energi listrik, termasuk untuk rumah dan kendaraannya.
Gung Kayon pula yang menerjemahkan konsep besar kami dari sisi pembagian lahan dan perwujudan kantor yang ramah lingkungan. Apa yang semula hanya ada di pikiran kami bisa dia terjemahkan dalam bentuk desain dan maket sederhana. Tidak ada desain rumit ala arsitek pada umumnya.
Di tangan Bli Gung Kayon ini, semua jadi terasa sangat mungkin. Termasuk pula masalah keterbatasan dana untuk membangun. Sejak awal, kami katakan kepadanya, kami hanya punya dana Rp 200 juta hasil berutang di bank dalam jangka waktu dua tahun. Menurut perhitungan kami, total dana untuk membangun awal sih sekitar Rp 250 juta.
Dana itu termasuk murah untuk bangunan tiga lantai. Apalagi jika bangunannya konkret, seperti bangunan pada umumnya. Biayanya bisa mencapai 3-4 kali lipat.
Kuncinya adalah pada penggunaan bahan bangunan. Gung Kayon selalu membesarkan kami. “Ah, santai. Pasti cukup segitu,” katanya perihal dana. Omongan itu dia wujudkan dalam minimnya penggunaan bahan dari luar.
Hal menakjubkan bagiku adalah tidak adanya penambahan tanah dari luar sama sekali untuk membangun. Padahal, karena kontur lahan yang berundak, aku pikir dia akan menguruk atau setidaknya menambah tanah dari luar. Ternyata, sama sekali tidak. Dia hanya memindahkan, merapikan, dan menata sedemikian rupa sehingga hasilnya jadi terlihat sangat proporsional antara bagian bawah, tengah, dan atas.
Sebagian bahan bangunan juga kami pakai bahan-bahan bekas. Misalnya kayu besi untuk lantai, plat cetak koran dan bekas palungan garam untuk dinding, serta bambu dan kayu untuk pagar.
Hal yang lebih menakjubkan, dia pada akhirnya bisa mewujudkan mimpi kami, bangunan ramah lingkungan. Bangunan ini semi terbuka. Di bagian paling bawah hanya satu kamar berukuran sekitar 2×4 meter. Dari awal aku bayangkan dia akan jadi tempat rehat, sholat, atau rapat khusus yang bersifat konfidensial.
Di bagian bawah pula ada dapur dan tempat makan. Kini, kamar dan tempat makan itu justru jadi tempat kerja dan pelatihan-pelatihan.
Di lantai dua, kantornya berdinding kaca. Meja kerja dibuat dari kayu palet bekas kotak pengiriman barang. Penataannya menghadap keluar. Jadi, ketika bekerja bisa melihat rimbun dan hijau pepohonan di sekitar kantor.
Di lantai paling atas sekarang ada kasur. Ada dua “kamar” yang dari awal niatnya bisa menjadi tempat menginap jika ada tamu datang ke Bali. Ada pula jendela yang bisa dibuka tutup sebagai meja kerja.
Secara keseluruhan, bagiku secara pribadi, kantor di Uma adalah bukti bahwa bangunan ramah lingkungan (plus ramah kantong) sangat mungkin untuk diwujudkan.
Dua Tiga tahun berselang sejak kami resmi menggunakannya dengan upacara melaspas ala Hindu Bali pada akhir Mei 2019, kantor di Uma telah menjadi semacam energi bagi kami. Energi yang terus menghidupi. Kini, dia menjadi rumah bagi BaleBengong dan SAFEnet plus kantor Bali untuk ICT Watch.
Sebagaimana bangunannya itu sendiri, kantor di Uma telah menjadi sesuatu yang hidup dan terus bertumbuh. Apalagi ketika kami tahu kemudian, bagi sebagian orang, kantor ini juga telah menjadi inspirasi. Ugh, itu sesuatu benar-benar sangat berarti.
Leave a Reply