Njrit, Bener Banget Omongan si Petra

0 , , Permalink 0

Ibarat pendeta, Petra memberikan banyak fatwa.

Cobalah dengarkan salah satu petuahnya. “Hidup memang harus canggih, tapi pastikan kau yang pegang kendali. Perhatikan nafasmu, degup irama mewah tersyahdu. Beri pesona sebagaimana yang semestinya..”

Sebagian lirik lagu “Canggih” itu terasa mengena di telinga sekaligus pikiran. Ketika teknologi informasi baru semakin canggih, kita justru mengalami keterbalikan. Alih-alih mengendalikan, kita justru dikendalikan.

Petra Sihombing, penembang lirik “Canggih”, kemudian seolah mengingatkan kita. “Hei, ingatlah. Kita yang harus mengendalikan. Bukan sebaliknya.”

Pesan itu amat relevan ketika kita merefleksikan apa yang kita alami sehari-hari. Baru bangun tidur sudah mencari ponsel pintar, bukan pasangan atau orang kesayangan di sebelah. Lalu, selama nyaris sepanjang waktu kita suntuk dengan si perangkat dalam genggaman itu.

Hingga menjelang waktu tidur, bukannya ngobrol mendalam (deep talk) dengan orang di sebelah, kita juga kembali khusyuk memelototi layar sembari menggulir-gulirkannya.

Dan, ini bukan perilaku satu dua orang. Menurut survei terbaru Asosiasi Pengguna Jasa Internet (APJII), dari sekitar 210 juta pengguna Internet di Indonesia pada 2022, sebanyak 12,5 persen di antaranya mengakses Internet lebih dari 10 jam dalam sehari. Mereka yang mengakses 6-10 jam lebih banyak lagi, sekitar 32 persen.

Tersita waktu di layar. Pada sibuk berselancar..” kata Petra masih di lagu yang sama.

Persis. Selama khusyuk menggunakan ponsel pintar, kita justru mengisolasi diri. Kita terhubung dengan orang yang nun jauh di sana lewat layar, tetapi pada saat sama justru membangun pagar tinggi dari orang sekitar.

Menempatkan lagu “Canggih” dengan konteks dan situasi saat ini pun menjadi pilihan tepat. Lebih lengkap lagi karena “Canggih” tidak sendiri. Petra Sihombing menyampaikan kegelisahan sekaligus pesannya dalam sebelas lagu lain di album “Semenjak Internet”.

Album ini sudah terbit dua tahun lalu, Oktober 2020. Namun, saya sendiri baru mendengarnya kira-kira setahun lalu. Algoritma pemutar musik Spotify yang mengenalkannya. Dan, begitu mendengar irama sembari menyimak lirik-lirik ”Canggih”, rasanya kayak menemukan “wow moment”.

Njrit! Kok asyik banget..

Saya pun menelusuri album “Semenjak Internet”. Detik itu juga, album ini saya putar berulang-ulang. Mendengarkan lagu-lagu Petra Sihombing di album ini semacam menyimak khotbah yang membumi. Mungkin karena ada kedekatan isu pekerjaan juga dengan lagu-lagu dalam album ini. Pesan-pesan Petra berangkat dari kenyataan saat ini.

Pada lirik yang lain, misalnya, penyanyi solo seperti bertanya kepada kita. “Bolehkah kita berhenti sejenak? Bicarakan tentang realita.” Pertanyaan sekaligus ajakan itu tertulis dalam lagu “Adu/h”. Seperti juga “Canggih”, lirik “Adu/h” pun mengingatkan sindrom manusia modern yang begitu takut ketinggalan sesuatu (fear of missing out) di belantara mayantara, sehingga terus menerus terikat dengan ponsel pintarnya.

Kita tak bisa. Tak bisa henti. Menjelajahi lampiran dunia. Yang ada hanya dari media.. Mau tak mau unggah personamu. Adu/h. Sampai di titik yang kita mau.”

Palsu

Peringatan ini tepat sekali. Ketika sudah tenggelam dalam belantara mayantara, kita sering kali tak hanya tersesat, tetapi juga tertipu. Citra-citra di sana kita anggap mewakili realita sebenarnya. Lalu, kita juga masuk di dalamnya. Membuat citra diri agar terlihat sempurna, betapa pun palsunya.

Ternyata, media sosial membuat kita juga menipu diri sendiri. Seperti dinyanyikan Petra dalam lagu “Kawan”.

Dia merujuk pada situasi kawannya yang membuat citra berbeda dengan keseharian. “Senyummu sebenarnya tidak setenang itu. Tawamu sebenarnya tak selepas itu. Wajah bangun pagimu mungkin tak sesegar itu.. …Lepaskanlah. Racun adalah ingin sempurna.”

Repotnya lagi, kita tak hanya ingin menampilkan citra fisik, seperti senyum, tawa, dan wajah saat baru bangun. Kita juga memanipulasi kepintaran. Lagi “Biji” dan “Cerita Kita Milik Semua” yang menyentil sindrom sok pintar ini.

“Kamu yang paling berani di ponsel pintarmu. Aku tak pernah peduli dengan komentarmu. Katanya asal rajin kamu pasti bisa. Mungkin kau telan sebiji-bijinya..”

“Zaman serba sekarang. Semua tak ingin dilarang. Akulah yang paling benar. Sekarang jadi hakim tak perlu gelar.”

Selebihnya, silakan simak dan nikmati sendiri petuah Petra. Dia tersedia di semua platform musik digital. Di tengah dominasi lagu tentang romantika, album “Semenjak Internet” menawarkan hal berbeda. Dia sekaligus bukti perubahan dan kematangan Petra dalam bermusik.

Lagu bertema Internet ini melengkapi pula tema serupa yang pernah dibahas beberapa musisi lain. Misalnya, lagu “Candu Baru” dari Zat Kimia, band rock alternatif dari Bali yang sudah bubar, dan “Nirrlaba” dari Lomba Sihir, band lain Baskara Putra, pentolan .Feast.

Perubahan

Dengan mengusung tema-tema sosial aktual, “Semenjak Internet” menjadi babak baru perjalanan bermusik Petra Sihombing.

Sebelumnya, putra penyanyi gereja Franky Sihombing ini lebih dikenal dengan lagu bertema cinta, seperti “Mine” dan “Pilih Saja Aku”. “Semenjak Internet” menjadi album keempat penyanyi yang kini tinggal di Bali bersama anak istrinya tersebut.

Dalam sebuah obrolan dengan David Bayu, dulu biduan Naif sebelum bubar, Petra mengatakan, dia memang merasakan perubahan itu. “Kalau dulu menulis lagu-lagu tentang cewek. Padahal belum tentu pacaran. Sekarang enggak,” katanya.

“Sekarang tertarik pada momen, dibanding teknis,” dia menjelaskan proses kreatifnya dalam video obrolan tersebut.

Album “Semenjak Internet” sendiri, merupakan kompilasi dari karya yang sebagian sudah pernah dia luncurkan dalam bentuk tunggalan (single). Misalnya “Cerita Kita Milik Semua” dan “Biji”.

“Awalnya malah tidak kepikiran bikin album,” katanya. Namun, gara-gara dua lagu bertema sama tentang Internet itu, Petra mengaku justru kepikiran untuk membuat album saja. Setelah tunggalan “Biji” dia luncurkan pada November 2019, dia baru memikirkan konsep. “Secara tidak sadar nulis tentang Internet terus. Kesal sama orang yang bacot doang di Internet,” lanjutnya.

Kekesalan yang masuk akal. Pengguna Internet Indonesia memang paling terkenal modal bacot. Menggonggongnya paling keras dan kasar, meskipun sering tidak benar. Digital Civility 2021 Global Report dari Microsoft menyebutkan, Indonesia berada di urutan 29 dari 32 negara lokasi riset. Keadaban berinternet itu, misalnya, kebiasaan menyebarkan informasi menyesatkan atau cara berinteraksi di ranah digital.

Petra menjadikan kekesalan itu sebagai energi. Dia pun mengajak teman-temannya sesama musisi, termasuk Bhaskara Hindia, Tulus, Sal Pribadi, Kunto Aji, Danilla Riyadi, dan Tedy Adhitya. “Canggih”, misalnya, dia tulis bersama Sal Pribadi. “Adu/h” dia kerjakan bersama Danilla. “Apa?” dia tulis bersama “Tedy Adhitya”.

Entah karena algoritma atau selera, semua penyanyi yang dia ajak kolaborasi itu ternyata masuk dalam daftar yang lagunya saya putar sehari-hari. Seperti juga Petra, lagu-lagu mereka empuk di telinga dan liriknya mengena di hati.

Kenyataan ini kemudian menjadi paradoks tersendiri. Begitulah adanya algoritma yang dibentuk dari jejak-jejak digital kita, menyenangkan sekaligus melenakan. Algoritma bisa membantu, tetapi juga menjadi candu. Inilah dua wajah Dewa Janus yang diperingatkan oleh Petra. Wawas dirilah agar kita tak tersesat karena belantara algoritma.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *