Kabar gembira datang dari Mbai Ivy kemarin sore.
Melalui pesan di WhatsApp, alumni Kelas Menulis Jurnalisme Warga angkatan kedua itu mengabarkan. Buku cerita fiksi tentang dua anaknya, Arsa dan Dydy, sudah diterbitkan penerbit di Yogyakarta.
“Mas Anton, terima kasih banget sepuluh tahun yang lalu saya diberi kesempatan nulis di Bale Bengong dan banyak belajar di Sloka Institute. Kini cerita Arsa n Dydy adiknya saya fiksikan dalam buku ini. Buku tentang perjuangan saya sendiri sedang diproses untuk dicetak oleh RakBuku…”
Mbak Ivy pernah bekerja dan tinggal di Bali sebagai guru. Seingatku dia ikut Kelas Menulis Jurnalisme Warga pada 2010. Waktu itu, kami mengadakan pelatihan jurnalisme warga ini di kantor lama, kami lebih sering menyebutnya gudang.
Selesai ikut kelas dua hari itu, Mbak Ivy yang kini tinggal di Yogya, masih rajin menulis artikel di BaleBengong. Ceritanya tentang Arsa, anak pertamanya yang autis, termasuk salah satu tulisan terpanjang yang penah kami terbitkan. Hingga saat ini, tulisan itu pula satu-satunya tulisan yang pernah membuatku menangis ketika mengedit.
Tak hanya di BaleBengong, Mbak Ivy juga terus menulis di dua blognya. Sesekali berkabar di WhatsApp Group Bali Blogger Community (BBC).
Dalam beberapa kali kesempatan, dia juga pernah menyampaikan terima kasihnya karena pernah diajak belajar bersama di kelas kami itu. Karena itu, kabar gembira seperti yang dia sampaikan membuatku terharu.
“Waaaah. Keren sekali. Selamat ya atas bukunya, Mbak. Semoga makin menginspirasi banyak orang. Aku terharu karena masih terus diingat,” jawabku.
Pesan Mbak Ivy, entah kenapa, datang beruntun dengan dua kejadian lain yang serupa.
Pekan lalu, Gus Tulang, teman di BBC dan pernah bekerja di Sloka Institute, mengirimkan foto spanduk dari Nusa Penida. Spanduk itu dari pelatihan blog dan menulis jurnalisme warga yang pernah kami adakan pada 2013.
Saat itu kami mengadakan pelatihan dua hari. Saat itu Nusa Penida belum menjadi tujuan favorit bagi turis domestik maupun mancanegara di Bali. Anak-anak muda kelahiran pulau yang dulunya terkenal gersang dan tertinggal itu masih banyak memilih tinggal di Bali daratan, begitu mereka menyebutnya.
Namun, anak-anak muda peserta pelatihan dua hari kami itulah yang kemudian menjadi motor penggerak pariwisata di Nusa Penida. Bahkan, I Nyoman Suwirta yang saat itu masih menjadi calon Bupati Klungkung, pun datang dan ngobrol dengan peserta.
Kejadian lain, tanpa rencana, pekan ini aku mendadak buka-buka foto lama di arsip. Salah satu yang aku buka adalah foto-foto ketika di Ekuador dan Peru akhir 2014 lalu. Selain foto-foto liputan petani kakao dan kopi di kawasan Amerika Latin itu, aku buka pula foto-foto ketika memberikan pelatihan tentang Internet dan media sosial. Selama di sana, salah satu pekerjaanku memang melaksanakan pelatihan itu untuk petani muda dan anak-anak petani lainnya.
Pelatihan serupa juga pernah aku lakukan dengan petani-petani lain di berbagai tempat di Indonesia: Flores (NTT), Parigi Moutong (Sulawesi Tengah), Jambi, Jawa, dan seterusnya. Begitu pula dengan pelatihan di Bali ataupun tempat lain di Indonesia hingga saat ini.
Pada dasarnya pelatihan itu beragam, tetapi selalu terkait dengan internet, blog, media, jurnalisme warga, dan akhir-akhir ini tentang keamanan digital.
Dari sekian pelatihan, sebagian mungkin lupa begitu. Namun, ada beberapa pula yang masih rajin menerapkannya. Mbak Ivy hanya salah satu contohnya. Contoh lain ada Ibu Maria Loretha di Flores yang kini mengembangkan tanaman sorghum ke mana-mana. Di Jambi ada Pak Dasril, petani kayu manis yang rajin berbagi di media sosialnya.
Ada pula beberapa alumni kelas menulis yang pernah mendadak berkabar bahwa dia sekarang bekerja di media ternama. Lalu, berterima kasih karena pernah belajar dalam pelatihan yang kami adakan.
Ada juga beberapa alumni pelatihan keamanan digital yang masih rajin berbagi informasi atau bertanya tentang insiden yang terjadi para mereka. Beberapa orang menyebutkan pelatihan yang bahkan aku kadang lupa kapan diadakan.
Hal menyenangkan dari semua proses itu adalah bahwa orang merasa mendapat ilmu dan manfaat dari apa yang kami pelajari bersama.
Di sisi lain, aku juga jadi merasa perlu untuk terus belajar dengan hal-hal baru. Sebagai orang yang suka belajar, bagiku, hal-hal baru selalu terasa menantang untuk dipelajari dan dibagi. Sebagaimana pelajaran zaman kecil dulu. Harta akan berkurang jika dibagi pada orang lain, tetapi ilmu justru bertambah ketika disebarluaskan.
Syukur-syukur jika ilmu yang kita sebarkan bisa mendapat imbalan meski hanya berupa traktiran makan siang. Seperti kejadian kemarin siang sebelum Mbak Ivy berkirim kabar. Seorang teman yang lama tidak kontak tiba-tiba bertanya lewat WhatsApp. Dia bilang ingin belajar menulis bersama satu teman lain.
“Sesi 45 menit x 2. Berapa biayanya per orang untuk 90 menit itu? Sekaligus dua orang,” tanyanya.
Aku tentu saja dengan senang hati mengiyakan. “Soal biaya, ga usah dipikirkan. Traktir makan siang saja nanti.”
Dia setuju. Maka, kami pun membuat rencana ketemu akhir pekan ini sambil makan siang. Dia yang akan bayar. Aku mah modal bacot doang. Hehehe..
Leave a Reply