Merdeka sebagai Pekerja Lepas Saja

0 , Permalink 0

September ini, tak terasa sudah hampir 15 tahun jadi pekerja lepas.

Padahal, ketika memutuskan untuk menjadi pekerja lepas (freelancer), aku sempat ragu-ragu dan gentar. Memang bisa, ya, bertahan hidup tanpa bekerja tetap? Memang mungkin, ya, bekerja secara lepas, tanpa terikat pada satu entitas?

Selama 15 tahun berjalan, ternyata semua kekhawatiran itu bisa terjawab. Meskipun tak mudah, bisa kok hidup jadi pekerja lepas.

Ketika memutuskan untuk mulai bekerja lepas saat itu, penyebab sekaligus tujuan utamanya untuk mengurus anak pertama, Bani. Ketika dia lahir, aku merasa sudah saatnya berbagi waktu lebih banyak dengan dia dan Bunda.

Seorang suami harus bertanggung jawab juga pada urusan domestik rumah tangga. Seorang ayah harus turut mengasuh anaknya sehari-hari. Seorang laki-laki harus merasakan beban dan pekerjaan yang selama ini dianggap hanya untuk perempuan.

Maka, setelah lima tahun bekerja sebagai koresponden GATRA, majalah mingguan nasional, aku pun mundur. Cukuplah lima tahun belajar. Saatnya bekerja secara mandiri tanpa terikat tetap pada satu media.

Seingetku, aku resmi jadi pengecer berita sejak November 2006. Dua bulan setelah kelahiran Bani.

Media pertama saat itu adalah The Jakarta Post. Media berbahasa Inggris ini memberikan tempat untuk jurnalis lepas menulis di medianya. Untuk jurnalis di Bali bahkan ada halaman khusus tiap Kamis yang terbit secara nasional. Lalu, masih ada lagi suplemen khusus tentang Bali.

Karena banyak pilihan medianya, banyak pula berita bisa dihasilkan. Begitu pula dengan honor untuk kontributornya. Cukuplah bagi keluarga kecil kami yang gaya hidupnya biasa saja dan tak ambisius soal materi.

Lebih penting lagi, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk mengasuh anak. Menemani dia belajar tengkurap, merayap, sampai melompat menjadi pengalaman orangtua yang tak pernah tergantikan. Aku dan bunda juga jadi lebih bisa berbagi urusan rumah tangga. Dia jadi tetap bisa bekerja juga karena kami bergantian mengurus anak dan rumah.

Begitulah sisi baiknya bekerja lepas. Jadi lebih punya banyak kebebasan. Merdeka. Termasuk bebas memilih bekerja untuk media mana saja.

Bali, sih, memiliki keuntungan tersendiri. Sebagai daerah internasional, banyak media asing ingin tahu lebih banyak tentang pulau ini. Apalagi tetangga terdekatnya, Australia. Maka, aku pun turut bekerja lepas sebagai fixer bagi salah satu media negeri kanguru itu, The Australian.

Selain media milik Rupert Murdoch itu, ada juga beberapa media asing lain di mana aku sempat menjual jasa pada mereka. Biasanya hanya satu dua hari untuk menemani jurnalis mereka liputan di Bali atau mencari informasi tambahan untuk reportase mereka tentang sesuatu yang ada di Bali.

Senangnya bekerja lepas begini, bekerja jadi bisa lebih bebas. Punya keleluasaan untuk mengatur waktu, termasuk membagi antara pekerja atau sebagai orangtua.

Tidak enaknya, tidak ada gaji bulanan. Pendapatan juga tak bisa ditentukan. Sangat tergantung dari banyak tidaknya tulisan atau tawaran. Kadang-kadang hasil tiga empat hari pekerjaan sudah cukuplah buat hidup sebulan, tetapi di waktu lain mungkin harus mengais-ngais karena tidak ada pemasukan.

Maka, bagi freelancer, hidup serupa naik sepeda. Harus terus menerus mengayuh agar bergerak ke depan. Mencari-cari peluang ke sana kemari. Mengajukan usulan lalu menunggu respon. Kalau disetujui baru jalan.

Di waktu lain, kirim tulisan langsung. Kalau beruntung, ya, langsung dimuat. Kalau bernasib sial, ya, tulisan tidak dimuat juga. Cukuplah gigit jari. Bagi penulis lepas, hidup juga serupa berjudi.

Karena itu harus bertaruh sebaik mungkin. Menjaga kepercayaan sekuat mungkin agar terus bisa bermain. Jika orang percaya, dia akan mencari kita.

Inilah jalan yang kemudian mengarahkanku sebagai pekerja lepas, menjadi konsultan. Biasanya ada lembaga, terutama organisasi non-pemerintah alias LSM, memerlukan konsultan sebagai fasilitator pelatihan, penulis laporan, dan pekerjaan lain terkait komunikasi dan laporan. Hasilnya antara lain berupa laporan hasil program, buku panduan, dan semacamnya.

Jaringan di kalangan LSM ini biasanya kalau tidak karena kenal saat liputan, bisa juga karena lewat lembaga lain di mana aku pernah bekerja paruh waktu, VECO Indonesia.

Begitulah kemudian pekerjaanku 15 tahun berjalan, jadi pengecer ke sana kemari. Sebelum setahun ini lalu tenggelam pada pekerjaan lain, mengasuh dan merawat “anak kandung” lainnya, SAFEnet.

Ceritanya kapan-kapan dibuat terpisah saja nanti.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *