Melawan Kecemasan, Menghadapi Kenyataan

0 , Permalink 0

Hari-hari ini, hidup rasanya penuh dengan ketakutan.

Bahkan, ketika berada di tengah situasi yang seharusnya membuat kita penuh dengan kegembiraan sekalipun. Situasi ketika kita berada pada sebuah keriuhan, yang dulunya identik dengan kegembiraan, kini justru menciptakan ketakutan.

Bertemu teman. Berada di kerumunan. Melakukan perjalanan. Nongkrong. Semuanya dulu menjadi momen menyenangkan. Namun, kini, semua kegembiraan itu berubah sebaliknya, melahirkan kecemasan.

Perasaan takut, khawatir, cemas, dan semacamnya itu terutama muncul kembali saat ada momentum. Misalnya, ketika harus melakukan perjalanan keluar kota dengan naik bus atau pesawat. Bisa juga ketika harus menghadiri sebuah perayaan berisi banyak orang.

Pandemi telah menciptakan ketakutan itu.

Februari tahun lalu, ketika kami sekeluarga liburan ke Vietnam, suasana masih belum terlalu terasa menakutkan. Memang sudah ada tindakan penerapan protokol kesehatan, seperti memakai maskar dan menjaga jarak, tetapi rasanya masih sebatas pencegahan. Apalagi saat itu, kasus di Indonesia juga belum (resmi) ditemukan.

Sepanjang liburan kami di Vietnam, papan peringatan penerapan protokol makin banyak. Hotel, museum, dan tempat publik lain masih terbuka untuk turis. Begitu pula di Bali.

Perasaan muncul yang saat itu lebih pada kewaspadaan. Dalam perasaan waspada itu, diri seolah mampu mencegah sesuatu menyerang. Siap siaga agar tidak tertular.

Dulunya, ketika pandemi COVID-19 ini baru muncul, aku kira perasaan negatif semacam itu akan berlangsung cepat. Tak lebih dari enam bulan, semua akan kembali normal. Lalu, situasi ternyata memburuk.

Lalu, suasana terasa lebih mencekam ketika akhirnya pandemi itu pun terasa juga di sini sejak Maret 2020. Turis mulai berkurang hingga kemudian tidak ada sama sekali. Semua tempat wisata yang semula riuh kemudian sepi. Senyap.

Sementara itu kasus baru terus bermunculan meskipun ada kesan ditutup-tutupi. Dari hanya satu digit menjadi ribuan kasus baru dalam sehari. Kematian seolah-olah mengetuk pintu rumah tiap warga.

Kewaspadaan kemudian berubah menjadi ketakutan. Setiap kali bertemu orang baru, kita jadi curiga atau setidaknya waspada. “Jangan-jangan dia membawa virus?” Dari semula masih memiliki perasaan mampu menjaga diri, lalu berubah menjadi semacam ketakutan bahwa siapapun di luar kita akan menjadi “penyebab”.

Diri yang semula merasa memiliki kekuatan, berubah menjadi lebih tidak punya kuasa. Sebab, pihak di luar kita yang justru punya lebih banyak kemampuan menyerang.

Akhir Juli lalu, ketika harus ke Jawa untuk sebuah acara keluarga, aku tuh rasanya kayak mau menuju medan perang. Sepanjang perjalanan hanya isinya kecemasan. Takut sekali ngobrol apalagi bersentuhan sama orang. Paranoid.

Ketakutan itu berlangsung secara terus menerus sepanjang lebih dari 1,5 tahun ini.

Situasi di sekitar pun berubah. Di Bali, khususnya, tempat-tempat yang dulu riuh, kini mati suri. Hotel, restoran, toko suvenir, dan aneka usaha pariwisata lainnya tutup. Kursi-kursi kafe yang dulu penuh terisi, kini ditumpuk terbalik dan berdebu.

Perjalanan ke berbagai tempat di Bali memerlihatkan betapa lesu pulau ini. Dampaknya seolah terasa hingga menyusup ke rumah tangga setiap warga.

Secara personal, syukurnya, aku sendiri merasa tidak terlalu terdampak. Alhamdulillah tidak ada keluarga besar yang positif atau bahkan meninggal karena COVID-19. Secara ekonomi, rasanya kami juga tak terpengaruh. Ketergantungan banyak orang untuk bekerja secara luring karena pandemi, bagiku, justru membawa lebih banyak peluang.

Dampak yang lebih terasa adalah dampak psikologis. Rasa cemas, takut, sedih, khawatir, dan seterusnya itu paling terasa. Tak bisa berdusta juga, ternyata sedih juga melihat Bali seperti mati suri. Bahkan, aku sendiri pun tidak menyangka akan mengalami kesedihan itu melihat Bali begitu sepi tanpa turis dan pariwisata.

Toh, semua ada batasnya. Dua bulan terakhir, aku mulai berpikir, ya sudahlah ya. Pasrah saja. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan ketakutan itu terus menguasai pikiran kita. Bahkan, ketakutan pun ada batasnya. Maka, tak ada pilihan lain selain menghadapinya.

Ini mengingatkanku pada pelajaran hidup yang selalu aku percaya. Ketika ada masalah, kita memang tak mungkin lari dan menghindarinya. Cara terbaik ketika punya masalah, sepahit apapun itu, memang dengan menghadapinya. Menyelesaikannya.

Menghindar sementara waktu mungkin bagus juga sebagai strategi mengulur sembari mengumpulkan daya dan keberanian. Namun, pada satu titik, ketika pukulan itu terus datang bertubi-tubi, kita tak punya pilihan lain selain menghadapi sebaik-baiknya. Beradaptasi. Membiasakan diri.

Sebagaimana kata Nietzsche, yang tidak bisa membunuhmu justru akan membuatmu lebih kuat.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *