Keterlambatan kami tiba justru menjadi berkah.
Petang menjelang ketika kami sampai di Menara Kudus pada Jumat pekan lalu. Gelap sudah mulai turun pelan-pelan. Namun, suasana justru terasa lebih syahdu. Bercampur antara visual dan spiritual.
Secara visual, petang itu langit jadi terlihat lebih biru. Pendar merah saga dari barisan awan menghiasinya. Di latar depannya, merah marun bata pada Menara Kudus berpadu dengan perak warna kubah Masjid Al-Aqsha di belakangnya.
Wujud Menara Kudus mengingatkan pada bale kulkul di Bali. Struktur bangunannya sama persis meski ukurannya berbeda. Menara Kudus ini tingginya 18 meter dengan pondasi 10 x 10 meter persegi.
Dari bawah ke atas, strukturnya mengecil. Di bagian paling bawah adalah kaki. Lalu badan di tengah. Terakhir, puncak bangunan berisi atap tumpang seperti bagian tertinggi pura di Bali.
Di sekeliling badan menara berbentuk kotak ini terdapat 32 piring. Persis serupa yang ada pada bale kulkul beberapa banjar di Denpasar.
Tampilan fisik yang sama dengan bangunan Bali itu semakin lengkap jika melihat tata ruang kompleks ini. Ada bagian paling luar (nista), tengah (madya), dan paling dalam (utama). Tiap bagian dipisahkan oleh tembok setinggi kira-kira dada orang dewasa. Candi bentar di bagian tengah menjadi pintu masuknya.
Aku tidak tahu persis apakah memang konsepnya sama dengan tata ruang tradisional Bali atau tidak. Namun, begitu melihat kompleks Menara Kudus, mau tak mau otakku memang berpikir ke sana. Tata ruang kawasan ini serupa yang diterapkan di Bali.
Dan, itulah keindahan Menara Kudus secara spiritual. Menara Kudus memadukan budaya Hindu, Jawa dan Islam. Khas perjalanan para wali menyebarkan Islam di Nusantara ini.
Kami tiba di sana sekitar 15 menit menjelang Maghrib pada pertengahan September lalu. Agak terlambat sebenarnya. Gara-garanya, menjelang petang itu kami baru ingat bahwa Menara Kudus adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di kota ini. Maka, kami pun segera cuss ke sini meski sudah agak sore.
Ternyata, itu tadi, suasana jadi terasa lebih adem, asyik dan syahdu. Sepeda motor wara-wiri di jalur pedestrian saja yang lumayan menganggu.
Meskipun masih dalam suasana pandemi, tempat ini relatif ramai. Pengunjung lalu lalang. Sibuk memotret di pojok sana sini. Ada pula rombongan bapack-bapack dengan blangkon jawa asyik berfoto ria.
Adzan Maghrib mengalun ketika pengunjung masih asyik menikmati kawasan ini. Mereka bergegas mengambil air wudhu dan ikut berjamaah. Aku turut serta. Senang rasanya bisa sholat berjamaah lagi setelah pandemi membatasinya hampir dua tahun ini.
Kelambu Putih
Usai sholat Maghrib, kami menjelajahi sisi lain kawasan ini. Di belakang masjid terdapat kompleks makam. Pusara Sunan Kudus, wali yang membangun masjid dan menara ini, berada di antara ribuan nisan. Makam berselimut kelambu putih inilah magnet utama bagi pengunjung.
Usai Maghrib itu, sekitar 20 orang duduk lesehan mengelilingi makam Sunan Kudus. Ada yang hanya berdua. Ada pula duduk dalam rombongan. Mereka merapalkan doa-doa dan membacakan ayal Al-Quran kepada salah satu wali dari Wali Songo tersebut.
Kami duduk tak sampai lima menit lalu keluar dari kompleks pemakaman. Pengunjung lain masih terus mengalir tiada henti.
Bulan hampir purnama menyambut ketika kami tiba di sisi tengah kompleks itu. Di ujung atap Menara Kudus, tulisan Allah berpadu dengan bulan yang hampir bulat purnama.
Kami meninggalkan kawasan Menara Kudus dengan berjalan kaki. Sebenarnya masih banyak tempat menarik di kawasan ini yang menarik hati. Jejeran warung dengan menu khas Kudus. Juga aneka suvenir khas ziarah Wali Songo.
Godaan paling besar adalah sebuah wihara di pojokan pintu keluar kawasan. Kami baru tahu ada wihara persis di kawasan Menara Kudus justru pada saat meninggalkan tempat itu. Namanya Wihara Hok Long Bio.
Berkunjung ke wihara mungkin bukan hal istimewa lagi. Namun, mengunjung wihara di kawasan pusat penyebaran Islam pasti akan menjadi cerita berbeda. Sayangnya, kami lihat sekilas, wihara itu tertutup. Jadi, kami tak berani masuk ke sana.
Lalu, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Sunan Kudus. Sebelumnya, pada siang hari, kami sudah menyusuri kawasan pusat niaga ini. Namun, suasanya berbeda. Pada malam hari, tempat ini berubah menjadi kawasan jalan-jalan bagi warga (city walk).
Beragam kuliner khas ada di sepanjang jalan ini. Tak hanya menu khas Kudus, seperti nasi tahu dan soto, tetapi juga lumpia semarang dan bahkan ikan bakar dengan nama warung Sanur.
Setelah kenyang oleh sepiring nasi tahu khas Kudus, kami beranjak kembali ke tempat menginap.
Besoknya, kami tak punya waktu lagi untuk menikmati sisi lain Kota Kretek. Usai acara keluarga, kami langsung melanjutkan perjalanan ke kampung halaman di Lamongan. Di kepala kami tercatat daftar sejumlah tempat yang harus kami kunjungi plus kuliner khas yang harus kami nikmati lagi jika ke sini: Museum Kretek, Museum Jenang, Colo, Soto Bu Jatmi, dan banyak lagi.
Kudus, tunggu kami akan datang kembali.
Leave a Reply