Perjalanan ke negara lain memang kadang membuat sentimentil.
Begitu pula dengan kunjungan ke Bosnia Herzegovina kali ini. Semakin aku mengenal negara ini, meski hanya seminggu, rasanya semakin bersyukur punya negara bangsa seperti Indonesia.
Well. Ini mungkin terlalu nasionalis, tetapi bagiku memang wajar. Tentang perasaan beruntung bahwa Indonesia mengalami situasi yang lebih baik dibandingkan sebagian negara lain.
Aku tahu. Ini juga bukan rasa bersyukur yang tepat-tepat amat karena membandingkan dengan “penderitaan” negara lain. Namun, kita kadang memang perlu berkaca pada pengalaman orang lain untuk menyadari apa yang perlu kita syukuri dan nikmati.
Dalam konteks Bosnia Herzegovina, kurang lebih begini. Bosnia Herzegovina ini relatif kecil. Ukuran negaranya tak lebih luas dari setengah Pulau Jawa. Penduduknya juga lebih sedikit dibandingkan Bali, hanya sekitar 3,5 juta.
Namun, negara sekecil itu ternyata mengalami masalah begitu pelik dengan identitas warganya. Hanya ada tiga etnis dan agama besar: Bosnia Muslim, Kroasia Katolik, dan Serbia Kristen Ortodoks. Sisanya ada 17 etnis mayoritas yang dianggap sebagai liyan, the others.
Toh, meski cuma 20 etnis, mereka tak bisa menemukan identitas tunggal sebagai satu bangsa, Bosnia. Mereka terpisah dalam sistem pendidikan, pelayanan publik, politik, bahasa, dan seterusnya. Satu sama lain saling curiga hanya karena perbedaan etnis dan agama.
“Tidak ada. Kami tidak memiliki perasaan bersama sebagai sebuah bangsa. Kami hanya memiliki identitas etnis dan agama,” begitu jawaban yang selalu muncul ketika berdiskusi tentang identitas bersama.
“Kami tidak punya masa depan. Tidak ada harapan bersama yang bisa menyatukan,” kata aktivis lainnya.
Contoh sederhana, pada saat ada Piala Dunia. Ketika ada pertandingan antara Bosnia Herzegovina melawan Kroasia, maka orang Bosnia etnis Kroasia akan lebih mendukung negara Kroasia dibandingkan tanah airnya sendiri, Bosnia. Begitu pula dengan orang Bosnia etnis Serbia.
Muram. Bahkan mereka sendiri mengakuinya.
Namun, konflik identitas semacam itu tak melulu terjadi di Bosnia Herzegovina. Selama mengikuti program Global Exchange on Religion in Society (GERIS), aku berbincang juga dengan peserta dari negara lain. Salah satunya dari Kamerun.
Peserta dari Kamerun bercerita, negaranya juga saat ini memiliki isu yang kurang lebih sama, terancam perang saudara. Padahal, mereka memiliki latar belakang etnis dan agama yang sama. Penyebabnya urusan yang berbeda, bahasa.
Ringkasnya, dia bilang, sebagian besar warga di negaranya adalah pengguna bahasa Perancis. Namun, ada sebagian kecil, sekitar 25 persen berbahasa Inggris. Saat ini, orang-orang berbahasa Inggris ingin memisahkan diri dari Kamerun. Konflik terbuka pun sudah pecah.
Ini aku benar-benar baru tahu.
Lalu, aku mencari informasi lebih lanjut tentang konflik bahasa di Kamerun ini. Ternyata memang begitu adanya. Konflik bahasa di Kamerun bahkan sudah terjadi secara terbuka. Pada 2019 lalu, menurut laporan The Independent, setidaknya ratusan orang sudah jadi korban perang gara-gara bahasa ini. Bahkan, 500.000 orang harus mengungsi.
Konflik bahasa itu makin bertambah panjang jika membaca sejarahnya. Tetap dia tak bisa dilepaskan dari jejak kejam kolonialisme. Meskipun kemudian, negara-negara penjajah itu pun memiliki isu sama.
Aku ingat Belgia. Ketika ke sana pertama kali sebelas tahun lalu, aku baru tahu bahwa di negara maju pun urusan bahasa ini bisa mengakibatkan konflik politik. Hingga saat ini. Gara-garanya perbedaan bahasa, terutama bahasa Perancis dan Belanda.
Hal serupa juga terjadi di Kanada. Masalah bahasa itu terjadi antara pengguna bahasa Perancis dan Inggris di Ontario dan Quebec. Lalu, ada juga isu serupa di Malaysia dan Singapura antara pengguna bahasa Melayu, China, dan India. Lengkap dengan konflik diam-diam antar-etnisnya.
Berkaca pada rumitnya persoalan identitas, termasuk etnis, agama, dan bahasa itulah, maka senang rasanya bisa jadi orang Indonesia. Rasanya, urusan orang Indonesia tuh sudah selesai dengan perasaan sebagai satu bangsa. Sebagai sebuah nation, bangsa, Indonesia itu sudah teruji.
Ya, tentu saja tidak sempurna. Kadang-kadang ego agama dan etnis, terutama ketika sudah berbicara di tingkat lokal, itu tetap ada. Tetap saja ada konflik atas nama etnis dan agama, tetapi, menurutku, skalanya lokal. Terbatas. Dia tidak sampai menjadi isu nasional dan bisa mengancam persatuan.
Dari zaman ke zaman, selalu ada upaya memecah bangsa ini terutama dengan dalih agama. Nyatanya sih tidak berhasil juga.
Begitu pula dengan bahasa. Mau di mana pun juga, kita dengan mudah berbicara dengan warga lokal selama memakai bahasa Indonesia. Ini memang salah satu pengikat kuat rasa sebagai sebuah bangsa sembari tetap berbahasa daerah masing-masing.
Secara umum, perasaan bersama sebagai sebuah bangsa di Indonesia itu ada. Mengakar kuat pada warganya. Pemimpin dan politisinya saja yang kadang suka mengadu domba.
Leave a Reply