Akhirnya, kesebalan saat tiba di Istanbul terbayar juga.
Pada hari ketiga, hari terakhir di ibu kota Turki ini, aku bisa juga menikmati sebagian ikon Istanbul yang seolah memanggil-manggil selama ini. Tiga di antara ikon itu adalah Masjid Biru, Hagia Sophia, dan Grand Bazaar.
Tiga ikon Istanbul ini berada di satu kawasan. Pusatnya, jika bisa disebut demikian, adalah Taman Sultah Ahmet. Ketiga bangunan ikonik itu berada di sekitar taman ini. Mudah sekali diakses. Cukup jalan kaki sekitar 15 menit dari Kardiga, kawasan di mana aku menginap, sudah sampai taman ini.
Taman Sultan Ahmet itu sendiri sekaligus menjadi titik kumpul para turis penikmat selera massal, termasuk aku. Jika punya waktu terbatas, seharian di tempat ini pun dijamin puas. Akhir Oktober 2021 lalu, beragam wajah Kaukasia, Asia, hingga Afrika terlihat di sini. Ada juga rombongan ibu-ibu berbahasa Indonesia sibuk berfoto ria.
Meski di tengah pandemi, suasana terlihat riuh. Begitu pula ketika aku menuju Masjid Biru (Blue Mosque), nama populer Masjid Sultan Ahmet. Kami harus antre sekitar 30 menit dan sepanjang kira-kira 200 meter, untuk masuk masjid berumur lebih dari 400 tahun ini.
Karena panjangnya antrean itu, aku kira akan menemukan sesuatu yang menakjubkan di dalam masjid dengan lima menara ini. Sayangnya, hanya zong!
Masjid Sultan Ahmet sedang dalam perawatan Oktober lalu. Kubahnya yang termasyhur itu tertutup papan karena sedang dalam perbaikan. Untungnya, masih ada sebagian yang tersisa.
Tempat yang masih terbuka itu luasnya tak lebih dari sekitar 40 meter persegi. Tiang-tiangnya menopang kubah berdiameter sekitar 15 meter di atasnya. Tingginya kubah itu kira-kira 10 meter. Ada kaligrafi bahasa Arab di dalamnya.
Aku kira masjid ini juga berwarna biru bagian dalamnya. Ternyata tidak juga. Warna biru itu hanya bagian dari masa lalunya. Sekarang lebih berwarna putih tulang.
Karena sedang dalam perbaikan, tak banyak yang bisa dinikmati dari masjid ini. Sekitar lima menit saja rasanya sudah cukup. Kurang sepadan, sih, sama lama antrenya.
Menariknya masjid ini adalah karena dia terbuka pada turis. Siapapun. Aturan masuk juga tidak ribet-ribet amat. Asal pakaian sopan dan melepaskan alas kaki ketika masuk bagian utama, beres.
Hal serupa juga terjadi ketika masuk Hagia Sophia. Tidak ada batasan apapun untuk masuk masjid ini, termasuk soal pakaian. Banyak juga yang bercelana pendek dengan santainya. Selama di dalam masjid juga tak ada larangan apapun. Bahkan mau duduk-duduk atau rebahan juga boleh-boleh saja.
Dari luar, Hagia Sophia dan Masjid Biru amat serupa. Ini juga mirip masjid-masjid lain di Istanbul, termasuk Little Hagia Sophia, tak jauh dari hotelku. Salah satu sumber menyebut ada lebih dari 3.000 masjid serupa di Istanbul saja.
Fasad mereka umumnya berupa beberapa kubah dengan satu kubah utama dan kubah-kubah lebih kecil mengelilinginya. Kemudian ada menara, empat atau enam, di sisi luar. Minaret, istilah untuk menara tempat adzan itu, tingginya sampai 60an meter. Menjulang tinggi.
Seperti halnya Masjid Biru, Hagia Sophia adalah masjid yang terbuka untuk turis. Tak ada pembatasan sama sekali, termasuk di tengah pandemi ketika aku ke sana. Pemakaian masker juga longgar. Apalagi pengurangan jumlah pengunjung dan jaga jarak. Nyaris tak ada.
Kami bersama-sama memasuki masjid yang dibangun pertama kali hampir 1.500 tahun lalu itu. Hagia Sophia pada awalnya adalah gereja. Dia berganti-ganti pengelola, seperti Ortodoks dan Katolik sebelum kemudian sejak tahun 1453 menjadi masjid.
Hagia Sophia menjadi saksi perjalanan sejarah Turki di bawah berbagai kekuasaan politik dan agama. Jejak-jejak itu terlihat pada perpaduan fisik dan cerita Hagia Sophia. Begitu melewati pintu kedua masjid setelah pintu gerbang, pengunjung akan masuk bagian inti di mana kubah berada.
Mulutku langsung menganga. Wooow…
Luas bagian dalam masjid itu, berdasarkan contekan di Wikipedia, adalah 73 x 82 meter persegi. Tinggi kubah itu sekitar 15 meter. Kubah raksasa itu berisi kaligrafi dalam bahasa Arab. Lalu, di sekitarnya terdapat lengkungan-lengkungan lebih kecil berisi nama empat khalifah pertama setelah meninggalnya Nabi Muhammad: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Puluhan kandelir tergantung pada kubah masjid. Lampunya temaram keemasan berpadu dengan warna kubah yang senada.
Ruang besar semacam aula, yang biasa digunakan umat Islam untuk sholat itu, menjadi ruang pamer jejak sejarah Istanbul. Fisiknya adalah jejak-jejak Kristen, baik Ortodoks maupun Katolik, sementara ornamennya adalah jejak Islam.
Ratusan orang memenuhi aula itu. Banyak pula yang memilih hanya lesehan. Mereka dari beragam latar belakang jika melihat wajah dan mendengar bahasanya. Sebagian aku lihat bahkan mengenakan kalung salib.
Inilah menariknya Masjid Biru dan Hagia Sophia. Meskipun masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi mereka juga terbuka sebagai tempat wisata.
Hal serupa pernah aku lihat di Masjid Jamek, Kuala Lumpur. Bedanya, masjid-masjid di Istanbul ini lebih serius menggarapnya. Di Masjid Biru, halamannya malah berisi papan-papan informasi tentang Islam. Mulai dari apa itu Islam, sejarah, rukun Islam, nilai-nilai, nama-nama nabi, dan seterusnya.
Dakwah tentang Islam jadi menarik sekali. Disampaikan dengan balutan bisnis pelesiran. Jadi, para turis bisa jadi tahu tentang Islam lebih banyak, termasuk hal-hal yang selama ini mungkin kurang dipahami, seperti jilbab, Al-Quran, sholat, puasa, haji, dan lain-lain.
Wisata masjid di Istanbul ini mengajarkan, tempat ibadah pun bisa jadi tempat tujuan wisata. Juga, dakwah pun bisa dilakukan sambil berbisnis pelesiran.
Leave a Reply