Pengalaman 24 Jam Detoks Digital saat Nyepi

0 , , Permalink 0
Umat Hindu Bali sembahyang menjelang Nyepi 2022. Foto: Anton Muhajir.

Tahun ini, Nyepi di Bali bisa internetan lagi.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini sebagian warga di Bali masih bisa mengakses Internet dengan bebas merdeka. Penonaktifan akses Internet hanya terjadi pada pengguna jaringan seluler, bukan fiber optik.

Secara pribadi, aku sebenarnya tidak setuju dengan kebijakan mematikan Internet selama 24 jam selama Nyepi ini. Bukankah tidak semua orang melaksanakan Catur Brata Penyepian meskipun dia di Bali pada saat Hari Nyepi?

Juga, bagaimanapun juga, akses Internet itu hak setiap orang. Urusan personal. Meskipun dia memang melaksanakan Nyepi, dia toh tetap berhak mengakses Internet. Mau dia tetap mengakses Internet atau tidak, itu seharusnya menjadi urusan dia pribadi. Bukan dengan dibatasi aksesnya.

Logikanya sama dengan orang puasa. Tidak usah ada pemaksaan untuk menutup warung makan selama Ramadan. Toh, puasa itu urusan personal. Tidak semua orang berpuasa di bulan Ramadan.

Warung makan harus dibebaskan untuk tetap buka meskipun di bulan puasa. Begitu pula, Internet harus tetap bebas diakses meskipun di saat Nyepi.

Namun, sejak tahun 2018, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali meminta agar koneksi Internet untuk publik memang dibatasi selama Nyepi di Bali. Alasannya, Internet menyediakan banyak hiburan. Padahal, bersenang-senang (lelanguan) merupakan salah satu kegiatan yang harus dihindari (amati) selama Nyepi, selain tiga hal lain, yaitu bekerja (karya), bepergian (lelungan), dan menyalakan api atau lampu (geni).

Nyepi adalah momentum untuk mengistirahatkan diri dengan cara menghindari empat hal di atas, Catur Brata Penyepian. Maka, sejak 2018, pantangan selama Nyepi di Bali pun bertambah satu lagi, amati Internet.

Meskipun secara pribadi tidak setuju dengan pembatasan atau bahkan pemutusan akses Internet selama Nyepi, aku justru menikmati situasi tersebut. Tahun ini, akses Internet di rumah sebenarnya tetap lantjar djaja karena menggunakan fiber optik. Namun, aku justru menerima tantangan itu: 24 jam menahan diri untuk tidak mengakses Internet.

Dan, ternyata seru juga. Selama 24 jam, kami memutuskan diri dari Internet. Aku pribadi total 24 jam tidak memegang ponsel atau membuka laptop sama sekali meskipun godaan itu terus datang.

Sebagai gantinya, kami jadi berpikir untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain tanpa harus bergantung pada koneksi Internet. Membaca buku, main Uno, ngobrol bareng, rebahan, bersih-bersih rumah. Ada yang dilakukan sendiri-sendiri. Ada pula bersama-sama.

Hasilnya, mungkin serupa udara Bali setelah Nyepi selama 24 jam itu sendiri. Pikiran jadi terasa lebih bersih. Jernih.

Hal ini mungkin karena selama 24 jam itu, tidak ada deras arus informasi ataupun data yang masuk ke ruang-ruang privat kita. Tidak ada jejalan unggahan yang harus kita cek satu per satu di media sosial.

Setelah hidup sehari-hari terpapar begitu banyak informasi, bagus juga selama 24 jam menutup diri dari semua itu. Setelah biasanya terus menerus terkoneksi, bagus juga untuk mengisolasi diri dari semua itu.

Ketika sehari-hari kita biasa terburu-buru untuk membuka ponsel dan terhubungan dengan jaringan di luar sana (online), Nyepi tanpa Internet selama 24 jam membuat ruang pikiran jadi terasa lebih lapang. Tidak ada ketakutan untuk kehilangan informasi baru. Tidak ada rasa iri melihat unggahan orang lain.

Nyepi tanpa Internet, tanpa harus dipaksa, bisa menjadi momen untuk melakukan detoks digital selama 24 jam. Lebih bagus lagi kalau bisa rajin-rajin detoks digital tanpa harus menunggu Nyepi yang hanya setahun sekali.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *