Gerundelan Pak Wayan Sepanjang Jalan

0 , , Permalink 0
Meskipun sudah dibuka untuk penerbangan internasional, kunjungan di Bali masih sepi. Foto Anton Muhajir.

Pelajaran tentang hidup di Bali bisa datang dari siapa saja.

Kemarin pagi, pelajaran itu datang dari Pak Wayan. Sopir Gocar yang mengantarkan aku ke Bandara Ngurah Rai ini memberikan semacam kuliah tentang Bali dan hidup itu sendiri. Selama kurang lebih satu jam, Pak Wayan ini layaknya seorang akademisi.

Awalnya kami hanya basa-basi biasa. Sekadar membuka obrolan antara sopir transportasi daring dengan pelanggannya. Kurang lebih begini obrolan kami di dalam mobil. “Gimana situasi Bali saat ini, Pak?” tanyaku.

“Ya, masih begini-begini saja, Pak. Masih susah,” jawabnya.

“Kok bisa? Kan tamu sudah banyak. Kayaknya sudah mulai ramai lagi?”

“Kelihatannya begitu, Pak. Tapi ramenya kan di situ-situ saja. Kalau lihat di warung-warung pinggir jalan, masih susah semua.”

Hmmm. Menarik juga analisisnya. Namun, itu belum apa-apa. Analisis lebih kritis lagi mengalir kemudian dari Pak Wayan. Dia sepertinya tidak hanya rajin mengikuti berita, tetapi juga menelaahnya.

“Koster hanya uluk-uluk,” ujarnya. Aku mencoba menyimak lebih serius dari belakang.

Uluk-uluk itu dalam bahasa Bali. Artinya kurang lebih menjanjikan sesuatu, tetapi tidak ditepati.

“Kok bisa uluk-uluk, Pak?” aku makin penasaran.

Pak Wayan merujuk pada berita terbaru yang dia baca awal pekan ini. Pemerintah Indonesia meluncurkan apa yang disebut Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali. Peluncuran itu dilakukan Presiden Joko Widodo pada 3 Desember 2021. Lokasi peluncuran adalah pulau buatan yang pembangunannya dulu ditolak warga Bali, reklamasi Pulau Serangan.

Aku justru baca peluncuran Peta Jalan Ekonomi Bali itu di satu halaman iklan Kompas. Di sana tidak hanya ada Jokowi yang meluncurkan, tetapi juga Gubernur Bali saat ini, Wayan Koster. Bagi warga Bali seperti Pak Wayan, Koster mungkin lebih tepat untuk dikritik.

“Bilangnya Bali mau menuju ekonomi baru. Balik ke pertanian. Memangnya sawah mana yang mau di-tumbek?” kata Pak Wayan.

Aku langsung lihat lebih lekat sosoknya yang sedang menyetir mobil. Mulut dan sebagian hidungnya tertutup masker jadi tidak kelihatan. Dari postur dan kerutnya, aku duga dia berusia 60an tahun. Usia yang tak lagi muda, tetapi masih mengikuti berita terbaru tentang lingkungannya, termasuk Peta Ekonomi Baru versi Pemerintah Indonesia.

Dalam Peta Ekonomi Baru itu, Pemerintah Indonesia memang menawarkan visi baru Bali yang hijau, tangguh, dan sejahtera. Ada enam strategi dasar, termasuk Bali Produktif yang meliputi revitalisasi pertanian, perikanan, dan kelautan. Secara ekonomi, Bali ditargetkan bisa mengalami pertumbuhan hingga 7,7 persen pada 2045. Transformasi itu ditargetkan bisa meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian Bali hingga 5,4% di tahun yang sama.

Namun, pertanyaannya kemudian, seperti kata Pak Wayan, lahan pertanian mana yang akan diolah? Ketika lahan pertanian kian berkurang dan petani juga semakin jarang, kata Pak Wayan, beralih kembali ke pertanian itu sesuatu yang mustahal.

Aku tak ingin membantahnya. Aku lebih tertarik mendalami pendapatnya.

“Bukannya Koster sudah serius membangun Bali, Pak?”

“Apanya yang serius? Dia kan bekerja untuk kepentingannya sendiri. Contohnya soal arak, bilangnya sudah ada regulasi. Buktinya pembuat arak masih susah untuk menjual sendiri.”

Pak Wayan melanjutkan omongannya. Tentang temannya Pak Gub yang memonopoli perdagangan arak di Bali utara. Juga tentang omongannya akan membawa 20.000 turis ke Bali pada akhir tahun nanti.

Apa sing ada!!” katanya.

“Pas ditanya, katanya tergantung situasi internasional. Terus ngapain kemarin bilang akan bawa 20 ribu turis ke Bali?”

Obrolan selanjutnya kemudian lebih banyak serupa gugatannya terhadap pemulihan ekonomi Bali di tengah pandemi. Menurutnya, upaya pemulihan ekonomi Bali saat ini lebih banyak hanya jargon. Dia melihat dari banyaknya kunjungan dan tempat menginap yang berpusat di Bali selatan, terutama hotel-hotel besar.

“Pemulihan ekonomi Bali hanya omong kosong. Yang dapat hanya elite. Uangnya muter saja di atas,” lanjutnya.

“Katanya pemerintah pusat mau membangkitkan ekonomi Bali, tetapi hanya yang di atas yang menikmati. Bawa mobil dan sopir sendiri dari Jakarta. Makannya di restoran mewah. Memangnya mereka mau naik pakai transportasi online? Memang mereka mau makan di warung pinggir jalan?”

Masih banyak gugatan Pak Wayan. Aku tetap mendengarkan mereka sembari berpikir, ternyata kritik terhadap pemerintah semacam ini bisa hadir dari siapa saja di mana saja. Kali ini bukan dari akademisi atau peneliti, tetapi sopir taksi daring seperti Pak Wayan.

Aku yakin suara Pak Wayan mewakili suara banyak orang di Bali. Sedikit bisa memberikan gambaran tentang bagaimana situasi di Bali saat ini dan pendapat mereka terhadap pemerintah pusat dan lokal.

Aku sekadar meneruskan gerundelan mereka.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *