Akhirnya, aku liputan lagi setelah hampir setahun berselang.
Kali ini untuk BenarNews, media daring berkantor di Washington DC, Amerika Serikat. Media milik Radio Free Asia (RFA) ini meminta laporan tentang bangkai pesawat mejeng di atas tebing Pantai Nyang Nyang.
Pantai Nyang Nyang berada di kawasan Uluwatu, Kuta Selatan, Bali pojok selatan di sisi barat. Jaraknya sekitar 2 km dari Pura Uluwatu, yang juga berada di atas tebing dengan laut lepas di bawahnya.
Topik liputan kali ini sebenarnya ecek-ecek banget, sih. Namun, dia jadi menarik karena viral di media sosial. Seperti biasa terjadi pada media arus utama lain saat ini. Kontroversi adalah salah satu nilai berita.
Senang juga “terpaksa” liputan lapangan lagi setelah terakhir kali liputan (mendalam) pada November tahun lalu untuk Mongabay. Kalau bukan karena ada yang minta, kayaknya aku bakal mager di Uma beresin urusan SAFEnet.
Maka, minggu ketiga bulan lalu, aku pun ke pantai berjarak sekitar 35 km dari rumah itu. Aku mewawancarai pemilik pesawat, penyewa tanah lokasi pesawat, dan pemilik warung yang juga pemilik tanah.
Bangkai pesawat yang lagi viral itu berada di atas tebing Pantai Nyang Nyang. Posisinya persis di pinggir tebing setinggi kira-kira 20 meter. Di bawahnya, laut membiru dengan pantai berpasir putih bersih. Keren, sih.
Namun, penempatan bangkai pesawat di sana memang terasa kontras. Maka, meskipun banyak yang senang dengan adanya bangkai pesawat itu di sana, ada pula sebagian yang mengkritiknya. Di liniasa Twitter BaleBengong, beberapa orang merespon negatif dengan kata-kata, seperti waduh duh duh, disgusting, duh goblognya, juga menjijikkan dan jelek.
Komentar paling menarik, menurutku, datang dari Robbie Baria. “Usai ayunan, signage love, dan instalasi sarang burung, terbitlah bangkai pesawat,” tulis pemilik akun Twitter @thenampale itu.
Robbie, yang kebetulan teman lamaku itu, seperti membuka kembali debat lama. Dan, ini sudah juga jadi kegelisahan sebagian teman.
Imitasi
Begitulah memang tren tempat-tempat wisata di Bali saat ini, seolah saling meniru, saling menyalin tempel satu sama lain alias copy paste. Untuk memasang badan pesawat seperti di Pantai Nyang Nyang mungkin terlalu mahal biayanya. Namun, untuk bentuk lain memang menyebar cepat serupa panu di punggung.
Sebagian tren itu, misalnya, wisata kopi luwak. Seingatku ini tren baru yang menyebar kira-kira lima tahun terakhir. Di beberapa tempat sudah lama. Salah satu perintisnya, sejauh yang aku tahu, adalah BAS di jalan raya antara Ubud, Gianyar – Kintamani, Bangli.
Secara geografis, BAS Agrotourism ini memang lokasi tepat untuk wisata kopi luwak. Terlepas bahwa aku secara pribadi tidak setuju dengan adanya tempat wisata semacam ini. Iklimnya sejuk. Ketinggiannya sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut. Kawasan sekitarnya memang kebun kopi.
Namun, anehnya, wisata dengan embel-embel kebun kopi (luwak) semacam itu kemudian menjamur di hampir semua lokasi Bali. Bahkan, di tempat-tempat yang secara geografis, tidak mungkin bisa untuk menjadi tempat tumbuhnya kopi, seperti Sanur dan Uluwatu.
Akibatnya, terjadilah eksplotasi. Luwak dikurung di kandang. Diasupi biji kopi dan buah-buahan lain demi turis.
Setelah eksploitasi, selanjutnya adalah “pemerkosaan” secara estetis. Beberapa tempat memaksakan diri memasang tanda hati berwarna merah atau papan tanda (signage board) di lokasinya. Apapun lokasinya, tanda cinta dan papan tanda menjadi ikonnya.
Umumnya, papan tanda itu bentuknya juga seragam. Hanya huruf besar dipasang sesuai nama lokasi: Pantai Jerman, Pantai Pandawa, Pantai Yeh Malet, dan seterusnya. Semua harus isi papan tanda itu besar-besar.
Ini pun tak hanya di Bali, tetapi kayaknya terjadi di semua tempat di dunia. Aku ingat pada 2010 juga menemukan hal sama di Amsterdam, meskipun dengan tulisan relatif lebih kreatif “I am sterdam”.
Di balik tren meniru tempel itu, matilah kemudian kreativitas di tingkat lokal. Tidak perlu lagi berpikir apa yang khas di daerahnya. Toh, cukup dengan papan tanda besar-besar, maka jadilah land mark.
Padahal, kalau dicek sekilas, orang-orang dahulu sudah punya ikon-ikon khas daerahnya. Begitu pula di Bali. Sebatas yang aku tahu, beberapa tempat itu, misalnya patung jagung di bundaran Bedugul, Kecamatan Baturiti, Tabanan. Ada pula patung (buah) manggis di Desa Manggis, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Kalau dicari pasti lebih banyak lagi. Tiap daerah punya ciri, potensi, sejarah atau budaya khas tersendiri. Lalu, ciri khas itu diwujudkan dalam bentuk ikon. Tidak harus besar-besar agar Instagramable. Cukup kecil juga tak apa.
Brussels, ibukota Belgia, bisa menjadi contoh. Untuk membuat ikon, tidak harus megah dan besar. Cukup hal-hal kecil, seperti patung anak kecil bernama Manneken Pis di pusat kota, Brussels Central.
Patung ini hanya berukuran 61 cm. Patung pertama sudah berumur lebih dari enam abad. Patung tiruannya, yang saat ini dibiarkan di sana untuk dilihat para pengunjung, dibuat lagi pada 1965.
Dari Manneken Pis kita bisa belajar, membuat ikon sebuah tempat bisa sangat sederhana. Jika ikon itu unik, jutaan turis pun akan datang mengunjungi dan memotretnya. Meskipun itu hanya berupa anak kecil melalung sedang pipis sambil memegang loloknya.
Leave a Reply