Firasatku sudah tidak enak karena waktu keberangkatan molor.
Menurut jadwal, penerbangan dari Jakarta ke Istanbul itu seharusnya pukul 21.05 WIB. Kami akan tiba di Istanbul, berdasarkan informasi di tiket, pukul 05.00 waktu setempat. Lalu, aku akan melanjutkan penerbangan dari Istanbul, Turki ke Sarajevo, Bosnia pukul 07.30.
Namun, petugas pelaporan Turkish Airlines itu mengatakan bahwa penerbangan malam itu akan terlambat sekitar satu jam. Artinya, waktu tiba di sana juga mundur, jadi sekitar pukul 06.00 waktu setempat.
Masalahnya, ini adalah penerbangan panjang yang tersambung (connected). Jadi, efek dominonya pasti ada. Kalau terlambat terbang dari Jakarta, maka dia akan berpengaruh pada penerbangan dari Istanbul, Turki ke Sarajevo, Bosnia.
Mengingat besarnya Bandara Istanbul, aku sudah membayangkan, waktunya termasuk mepet. Harus lari-lari untuk mengejar penerbangan lanjutan nantinya.
Aku jadi khawatir nanti ketinggalan penerbangan lanjutan. Mungkin ini berlebihan.
“Nanti ada petugas yang membantu, Pak. Tidak usah khawatir,” kata petugas konter. Ya, lumayanlah menghibur diri.
Namun, omongan petugas itu hanya omong kosong ketika aku tiba di Bandara Istanbul pada Minggu, 10 Oktober 2021 kemarin. Setelah hampir 12 jam penerbangan, pesawat raksasa Airbus A350-900 itu mendarat pukul 06.30an waktu setempat. Aku terus melihat jam di layar di depan kursi. Sudah deg-degan. Bisa gak, ya, mengejar penerbangan lanjutan?
Awalnya aku kira akan lebih cepat proses dari mendarat hingga pindah pesawat. Ternyata tidak juga. Begitu mendarat, pesawat TK-57 itu tidak langsung menuju garbarata. Dia masih berjalan di landasan sekitar 20 menit. Lalu, kami masih pindah ke bus penjemput untuk dibawa ke terminal kedatangan.
Proses yang biasa, sih. Wajar. Cuma jadi terasa lama dan lambat karena aku deg-degan memikirkan penerbangan lanjutan.
Hari masih gelap. Hujan rintik-rintik. Lampu bandara berpendar muram.
Istanbul menyambut dengan dinginnya. Aku berlari bersama kekhawatiranku. Begitu tiba di terminal kedatangan, aku cari-cari petugas Turkish Airlines yang akan membantu pindah pesawat menuju Sarajveo. Tidak ada.
Aku makin khawatir. Berlari menuju terminal transfer internasional. Masuk antrean panjang penumpang menjalani pemeriksaan kembali. Lalu, mencari informasi pintu masuk (gate) penerbangan ke Sarajevo di papan informasi.
Gate A10B. Ucaga Gidiniz. Sudah boarding. Sialan. Mana lokasinya di ujung terminal lagi.
Dengan terengah-engah, aku mempercepat lari menuju Gate A10B. Mengabaikan godaan untuk mencicipi kopi Turki di pagi hari sembari menyantap roti. Atau foto-foto dulu di salah satu bandara tersibuk ini. Atau duduk sejenak melihat riuhnya bandara di tengah pandemi, sebuah situasi anomali.
Orang lalu lalang bergegas. Aku berlari dengan terengah-engah menuju pintu boarding.
Ketika tiba di Gate A10B, lokasi itu sudah sepi. Kosong. Pintu menuju garbarata sudah ditutup. SIALAN!!
Meski sudah mencoba sekuat upaya, aku tetap terlambat juga. Pesawat lanjutan menuju Sarajevo, Bosnia, tujuan akhirku kali ini, ternyata sudah terbang. Aku terlambat. Gara-gara penerbangan dari Jakarta yang memundurkan terbangnya. Sialaaaaan!
Setengah putus asa aku bertanya ke petugas di sana. Dia menyarankan aku ke konter Turkish Airlines di ujung terminal lainnya. Aku kira masih adalah kesempatan untuk tetap ikut dengan penerbangan pagi itu ke Sarajevo. Tidak ada.
Ketika aku memberi tahu ke petugas Turkish Airlines, dia hanya melihat sebentar boarding pass-ku. “Tidak ada bagasi?” dia bertanya.
“Tidak.”
“Oke. Ini boarding pass baru. Penerbangan nanti sore,” lanjutnya dengan santai. Tidak ada gurat bersalah atau bersimpati. Ekspresinya datar. Sepertinya sudah terlatih dengan situasi semacam ini.
Aku cek, penerbangan selanjutnya pukul 19.30 waktu setempat. Artinya, aku harus menunggu lebih dari 12 jam di Bandara Istanbul, menunggu penerbangan lanjutan ke Sarajevo, Bosnia. Tidak ada pilihan lain.
Padahal, setelah penerbangan panjang dari Bali sejak pukul 13.30 WITA, transit di Jakarta hampir 8 jam, plus penerbangan Jakarta – Istanbul sekitar 12 jam, aku bayangkan akan bisa segera lanjut ke Sarajevo, tiba di sana pagi-pagi, dan kemudian bisa segera rehat dengan nikmat.
Kini, bayangan nikmatnya kasur hotel pun buyar. Lelah fisik dan mental masih berlanjut sebelum nantinya menemukan cerita-cerita lain yang lebih melelahkan, Perang Balkan.
Leave a Reply