Turki, Kesan Awal yang Bikin Sebal

0 , Permalink 0
Antre di pos pemeriksaan Imigrasi Bandara Istanbul, Turki.

Dari daftar negara tujuan jalan-jalan, Turki berada di urutan pertama.

Banyak hal menggoda tentang negara ini, terutama keberagamannya. Sebagai titik temu Asia dan Eropa pun Islam dan Barat, Turki terlihat mampu menjadikan posisi itu sebagai bagian dari kekayaan sejarah dan budayanya.

Alasan personal lain bagiku, kayaknya menarik melihat bagaimana Islam (sekuler) terbuka terhadap nilai-nilai baru. Godaan melihat, misalnya, masjid-masjid berdampingan dengan bar atau kafe teramat menarik kuat.

Turki seolah terus memanggil.

Maka, kali ini aku tak mau menunda lagi. Ketika ada kesempatan untuk melewati Istanbul dalam perjalanan pergi pulang dari Bosnia Herzegovina Oktober lalu, aku merencanakan dengan baik. Aku harus mampir Turki meski hanya sehari dua hari.

Aku tak mau mengulang kegagalan mampir Turki yang terjadi persis dua tahun lalu. Saat itu, dalam perjalanan pergi pulang ke Belgia, penerbanganku juga lewat Istanbul. Namun, karena baru sadar pas sudah di tengah jalan dan aku terlalu ragu untuk mengubah tiket, akhirnya aku gigit jari. Tak jadi mampir ke Turki meski penerbangannya lewat Istanbul.

Namun, sekali lagi, aku tak akan menunda lagi. Kali ini aku harus mampir Turki!

Dan, akhirnya keinginan itu pun terwujud juga. Dengan sedikit mengubah tiket kembali ke Indonesia, aku pun bisa mampir tiga hari ke Turki sepulang dari Bosnia pada pertengahan Oktober lalu.

Proses masuk Turki relatif mudah. Sama persis ketika masuk Bosnia. Sebelum tiba, aku sudah mengurus visa elektronik secara daring di situs web resmi Pemerintah Turki. Biaya visa masuk Turki sebesar USD 26.05 atau sekitar Rp 600.000.

Asal semua sudah siap, terutama pembayarannya, pengurusan visa masuk Turki tidak sampai 30 menit sudah jadi. Cepat dan mudah. Begitu pula ketika masuk negara ini.

Susahnya akses bagi pejalan kaki di sekitar hotel di Istanbul, Turki.

Ribetnya justru ketika antre di bagian Imigrasi. Aku tak menyangka antreannya akan amat panjang dan lama. Apalagi di tengah pandemi. Perlu waktu sekitar 45 menit berdiri dalam antrean. Lumayan lama, sih, apalagi saat itu aku tiba sudah hampir tengah malam, pukul 22.30an waktu setempat.

Bagian lebih menyebalkan justru ketika menunggu penjemputan dari bandara ke hotel. Bandara internasional Istanbul ini berjarak sekitar 50 km. Sudah jauh, tak banyak pilihan transportasi publik. Karena sudah tengah malam dan pengen cepat sampai hotel untuk istirahat, aku pesan penjemputan dari hotel saja.

Eh, ternyata ribet. Kirain begitu tiba di bandara langsung ada yang menjemput dari pihak hotel. Mirip di Bali begitu. Ternyata prosesnya bertingkat-tingkat. Dari hotel menunjuk orang lain, semacam perantara. Lalu, si perantara itu mengurus buanyak penumpang lain dan mencari sopir-sopir lain.

Seingetku proses menunggu ini bahkan sampai satu jam. Tengah malam. Capek. Inilah yang kemudian pelan-pelan mengurangi imajinasiku tentang asyiknya Turki. Kesan awal sudah bikin sebal.

Lebih sebal lagi ketika tiba di hotel. Karena pesan lewat AirBnB, aku kira kamarnya akan lebih bagus, personal, dan menyenangkan. Ternyata, ini hanya hotel biasa yang jualan di AirBnB. Asulah!

Cuma, ya sudahlah, ya. Sudah capek mengikuti kegiatan seminggu di Bosnia. Sudah lelah setelah tiba di hotel lewat tengah malam dengan drama penjemputan. Mari rehat saja. Biar bisa mengembalikan energi dan menikmati indahnya Turki esok pagi.

Ternyata tidak juga. Keindahan Turki yang aku bayangkan selama ini ternyata tidak cukup membuatku bersemangat untuk menikmatinya selama dua hari.

Alasannya personal. Aku memang sudah kecapekan setelah seminggu kegiatan di Bosnia Herzegovina dengan banyak kunjungan dan diskusi. Alasan lain, secara mental aku agak down gara-gara baru sadar nanti pas masuk Indonesia harus karantina lima hari. Sesuatu yang sebelumnya tidak aku antisipasi.

Rasa sebal makin bertambah ketika esok paginya bangun dan melihat suasana di sekitar hotel. Kawasan ini ternyata padat sekali. Lansekapnya naik turun. Jalanan sempit. Mobil berderet-deret parkir di pinggir jalan. Suara erangan mobil dan lengkingan belnya semakin melengkapi gaduhnya pagi.

Suasana pagi itu jauh sekali dari bayangan tentang indahnya Turki. Apakah kesan itu akan berubah selama dua hari di sini?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *