Bosnia Bagian 5: Perlawanan yang Menyatukan

0 , , , Permalink 0

Gemericik air sungai menyambut kami di Kruscica.

Airnya jernih. Bening. Mengalir di antara bebatuan coklat dengan sebagian pohon mulai menguning di sepanjang tepi sungainya. Selebihnya masih hijau asri. Begitu pula dengan perbukitan yang mengelilinginya.

Semilir angin berembus menyambut. Dingin. Suhu sekitar 5 derajat Celcius. Langit abu-abu dengan awan berarak-arak. Cericit burung bersahutan dengan desau angin, gemiricik air, dan langkah kaki kami ketika tiba di sana.

Tanah basah ketika kami melangkah. Menyusuri jalan setapak dari pintu masuk menuju Eko Bistro yang menjadi tempat pertemuan siang itu.

Selamat datang di tanah perjuangan para perempuan pemberani. Selamat datang di Desa Kruscica.

Desa sejuk ini berada di Bosnia Herzegovina bagian tengah. Agak di perbatasan antara negara bagian Bosnia dengan Republik Srpska. Lokasinya di pegunungan setinggi sekitar 800 meter.

Sebenarnya, perjalanan dengan bus dari Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, ke desa ini hanya sekitar 1,5 jam. Namun, perjalanan kami justru memutar melewati Banja Luka, ibu kota Republik Srpska di Bosnia Herzegovina bagian utara. Perlu waktu sekitar 2,5 jam dengan medan berkelok-kelok naik turun dari Banja Luka.

Kruscica adalah desa tujuan terakhir kami selama mengikuti program Global Exchange on Religion in Society (GERIS) di Bosnia Herzegovina. Setelah 6 hari program dan 17 lokasi kunjungan, kami tiba di bagian akhir juga.

Namun, secara personal, justru kunjungan terakhir inilah yang paling aku tunggu. Cerita tentang keberanian para perempuan di desa ini sudah aku dengar sejak diskusi persiapan program. Saat itu, dalam sesi daring, peserta diperkenalkan dengan The Brave Women of Kruscica.

Berita pendek itu menceritakan kelompok perempuan di pegunungan tengah Bosnia ini. Mereka melawan rencana pembangunan dam yang akan membendung sungai di desa mereka. Sungai ini disebut sebagai Jantung Biru Eropa karena berperan penting bagi lingkungan dan sosial, tidak hanya warga sekitarnya, tetapi juga kawasan Balkan.

Saat itu, begitu membaca kisah mereka, aku langsung merasa terhubung. Kisah mereka serupa dengan gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali. Bedanya, di Bosnia ini sepenuhnya digerakkan oleh perempuan.

Para perempuan pemberani itulah yang langsung menyambut kami ketika tiba di sana. Penampilan mereka terlihat campur aduk. Ibu-ibu paruh baya, muda, atau bahkan nenek-nenek. Ada ibu berjilbab. Ada pula yang memakai kalung salib. Sekilas terlihat mereka datang dari beragam identitas.

Dan, begitulah adanya. Jika di Bosnia bagian lain warganya terpisah karena identitas etnis dan agama, maka perempuan di Kruscica justru menjadikan perbedaan sebagai kekuatan. Perjuangan membela lingkungan justru menyatukan warga Bosnia Herzegovina yang terpisah karena identitas. Itu tak hanya di Kruscica, tetapi juga di Mostar, Jajce, dan Banja Luka.

Bersatunya perempuan di Kruscica bermula dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di daerah mereka pada 2016. PLTA itu akan membendung sungai yang juga melewati Kruscica.

Masalahnya, sungai itu tidak hanya berfungsi secara ekologis, tapi juga sosial budaya. Selain menjadi rumah bagi 69 jenis ikan endemik dan aneka satwa lain, sungai itu juga menghidupi sekitar 145.000 warga di sekitarnya.

Parahnya lagi, warga lokal tidak dilibatkan sama sekali dalam perencanaan. Padahal, dua PLTA yang akan dibangun itu berada di tempat mereka. Maka, mereka pun melawan. Tanpa melihat latar belakang agama dan etnis, mereka bersama-sama melawan rencana pembangunan PLTA.

Ibu-ibu di Kruscica bercerita bagaimana mereka memblokir jembatan yang akan dipakai untuk lewat. Juga menghadang buldoser yang akan dipakai membangun. Selama lebih dari 500 hari, para pemrotes berkemah di titik mana kami masuk kawasan ini pertengahan Oktober lalu.

Itu tak mudah. Mereka harus berhadapan dengan polisi, termasuk dipukuli. Saat bercerita, mereka memperlihatkan rekaman kekerasan itu: petugas polisi berseragam lengkap memukul pemrotes yang sebagian besar adalah ibu-ibu. Mereka menjerit-jerit sementara polisi terlihat beringas.

Salah satu ibu sampai menangis ketika bercerita.

Perjuangan mereka belum berakhir karena rencana itu belum sepenuhnya dibatalkan. Namun, sejauh ini mereka sudah berhasil menunda pembangunan PLTA tersebut. Lebih jauh lagi, mereka berhasil menyatukan warga yang biasanya terpecah-pecah atas nama identitas etnis dan agama di Bosnia.

Mereka juga mendapatkan perhatian dan penghargaan internasional. Salah satu yang paling bergengsi adalah Goldman Prize.

Menariknya, cerita serupa juga aku temukan di daerah lain, yaitu Mostar, Jajce, dan Banja Luka. Di tiga tempat lain ini, warga justru melupakan perbedaan di antara mereka ketika berjuang bersama untuk isu lingkungan.

Di Mostar, kami bertemu pegiat permakultur yang menginisiasi model pertanian ini sebagai ruang bertemunya anak muda beragam etnis dan agama. Ketika sibuk bercocok tanam, kata aktivis Nesto Viste di Mostar, mereka melupakan perbedaan.

Permakultur sebagai alternatif cara tanam ramah lingkungan itu bahkan sekaligus menjadi ruang untuk mengobati trauma setelah perang.

Begitu pula di Jajce, di mana warganya menolak rencana pembangunan PLTA seperti di Kruscica. Warga beragam etnis dan agama itu menggalang petisi, melakukan aksi, juga melobi pemerintah setempat agar membatalkan rencana tersebut.

Cerita-cerita perjuangan membela lingkungan seperti Kruscica, Mostar, Jajce, dan Banja Luka itu menjadi menarik ketika melihat warga Bosnia Herzegovina yang seolah tak punya identitas tunggal sebagai sebuah bangsa. Ketika politik memecah belah warga, kepedulian terhadap lingkungan justru menyatukan mereka.

Begitulah memang, energi untuk melawan sering kali bisa jadi kekuatan.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *