Menikmati Tepian Mahakam Menjelang Malam

0 , Permalink 0

Dari ketinggian, Jembatan Mahakam terlihat bercahaya warna-warni.

Petang itu, Jembatan Mahakam menghadirkan warna-warni pelangi. Lampunya indah berpendar. Kerlap-kerlip terlihat dari lokasi kami beranjangsana, kafe D’Puncak yang berada di kawasan lebih tinggi kota Samarinda.

Searah pandang dari tempat kami ke Jembatan Mahakam, ada masjid sekaligus ikon Samarinda Masjid Baitul Muttaqien sebagai latar depan. Masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Samarinda Islamic Center ini memiliki enam menara. Permainan cahayanya membuat menara-menara itu terlihat berwarna emas berkilauan. Apalagi ketika petang menjelang.

Sungai Mahakam, dengan air berwarna kecoklatan, membelah ibu kota Kalimantan Timur ini. Dia meliuk-liuk seperti naga raksasa di antara deretan berbagai bangunan kota. Tidak hanya jembatan dan masjid, tetapi juga hotel, rumah, kantor, dan penanda urban lainnya.

D’Puncak, kafe trendi warga Samarinda, ternyata menjadi titik tepat untuk menikmati sisi lain Samarinda. Menunya sih, so-so-lah, tetapi tempatnya asyik. Cocok buat kentjan atau sekadar ngobrol sama teman-teman. Dari kafe ini, kami bisa menikmati lansekap kota. Lebih asyik lagi ketika menjelang petang hingga malam tiba. Permainan cahaya Jembatan Mahakam dan Masjid Baitul Muttaqien menghadirkan keceriaan tersendiri.

Pemandangan dari ketinggian ini rasanya menjadi bagian paling menarik untuk menikmati Samarinda jika berkunjung ke sini dalam waktu singkat. Ada beberapa pilihan lain, seperti naik kapal pesiar pada malam akhir pekan menyusuri Sungai Mahakam. Sayangnya, aku sudah balik pada akhir pekan setelah hari ketujuh di kota ini.

Meskipun demikian, ada beberapa hal menarik untuk dilakukan saat di Samarinda.

Menikmati petang dari ketinggian, termasuk kafe D’Puncak dan sekitarnya, bisa jadi salah satu kegiatan tersebut. Pilihan lain adalah nongkrong di Mahakam River Market (Marimar), wisata Taman Lampion, olah raga di Taman Samarendah, atau sekadar berfoto-foto di Pelabuhan Samarinda.

Marimar, yang namanya mirip judul sinetron Amerika Latin tahun 2000-an, adalah pusat jajanan serba ada alias pujasera. Lokasinya di tepi sungai persis. Banyak deretan stan makanan dan minuman. Sore itu, ketika kami ke sana, tempat duduknya penuh. Riuh.

Sayangnya, kami tidak menemukan menu lokal. Ada satu stan, tapi dia tidak buka. Menu lain, sih, standar, seperti siomay, ayam goreng, jagung susu keju (jasuke), bahkan menu ala Korea.

Meskipun demikian, Marimar tetap enak buat sekadar menikmati kudapan ringan sambil melihat interaksi warga setempat. Apalagi, di sebelahnya persis ada Taman Lampion. Jika suka menikmati wisata-wisata buatan dan agak norak, bisalah mampir ke Taman Lampion ini.

Kok norak? Karena pas kami lewat, aku lihat ada lampion tiruan ikon-ikon kota lain, seperti Monumen Nasional (Monas) Jakarta dan patung Merlion Singapura. Aneh saja, sih. Cuma, itu kesan dari orang yang sekadar lewat. Kalau masuk dan melihat ke dalamnya mungkin lain lagi. Aku, sih, tidak berminat sama sekali.

Seperti juga Marimar, Taman Lampion ini berada di tepian Sungai Mahakam. Jadi, sambil melihat warna-warni cahaya dari lampion, kita bisa tetap menikmati suasana tepi sungai.

Namun, menjelang Manghrib itu aku lihat, lebih banyak lagi warga yang memilih sekadar duduk-duduk di tepian sungai. Kelihatannya asyik sekali. Ada yang berduaan ngobrol. Mesra. Ada yang ramai-ramai seru ngobrol. Gayeng. Ada pula yang sekadar rebahan di atas tembok pembatas. Damai..

Pengen juga sebenarnya ikut duduk-duduk menikmati petang seperti warga lokal. Cuma, kok tak banyak waktu. Kami buru-buru ke arah Masjid Baitul Muttaqien mumpung masih agak terang. Biar bisa foto-foto dengan latar belakang enam minaret menjulang.

Sejauh yang pernah aku kunjungi di Indonesia, belum pernah aku menemukan masjid dengan minaret seindah Masjid Baitul Muttaqien ini. Enam menaranya tinggi menjulang berhias cahaya keemasan. Cocoklah untuk jadi salah satu tempat jalan-jalan jika ke kota ini.

Apalagi jika bisa ikut berjamaah di dalamnya. Bukan seperti kami yang justru memilih berburu durian di sebelahnya persis, Jalan Anggi,ketika adzan Maghrib berkumandang. Di sepanjang jalan ini berderet penjual durian. Karena memang dari awal berniat mencari durian, kami pun membelinya.

Cuma, kok, mahal sekali. Aku kira karena beli di Kalimantan yang terkenal sebagai pusat durian, kami bisa mendapatkan harga murah. Eh, ternyata mahalnya pakai banget. Satu biji durian ukuran jumbo bisa sampai Rp 300an ribu. Per kilogramnya Rp 75.000. WTF aja deh.

Mahalnya durian menjadi salah satu bagian tidak enak tentang Samarinda. Hal lain adalah soal kurangnya fasilitas publik untuk pejalan kaki. Tiga kali lari pagi di kota ini, rasanya tak nyaman sekali. Sebagian besar trotoarnya rusak atau bahkan tidak ada sama sekali.

Padahal, kalau ditata dengan baik, jalur untuk pejalan kaki ini bisa membuat pelancong seperti aku bisa menikmati kota ini dengan lebih aman dan nyaman. Termasuk menikmati keragaman jejak budaya, semacam Klenteng Thien Le Kong di ujung jalan Yos Sudarso, kawasan Pelabuhan Samarinda.

Ini kejutan ketika aku lari pagi di sekitar sini. Sebuah klenteng berusia lebih dari 115 tahun di antara deretan warung-warung coto Makassar dan… pecel lele Lamongan. Kalau ada waktu lebih lama, Samarinda sepertinya menarik untuk dijelajahi lebih lanjut kekayaan budaya dan kulinernya.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *