Menikmati Karantina saat Masuk Indonesia

0 , , Permalink 0

Urusan COVID-19 ini ternyata masih penuh ketidakpastian.

Pada akhir bulan ini, muncul varian baru bernama Omicron. Badan Kesehatan PBB sudah memasukkannya sebagai varian yang harus mendapat perhatian (VoC). Alasannya, dia lebih cepat menular dan berpotensi kebal terhadap vaksin yang sudah diberikan.

Varian ini ditemukan pertama kali di Afrika Selatan, meskipun asal muasalnya belum jelas dari mana. Ada yang menyebut sebenarnya dia berasal dari Eropa, terutama Inggris dan Belanda.

Apapun itu, akibatnya, Indonesia kembali bersiap memperketat pintu masuk negaranya, termasuk kemungkinan memperpanjang waktu karantina untuk warga yang datang dari luar negeri.

Gara-gara wacana perpanjangan masa karantina ini, aku jadi ingat soal proses yang aku alami ketika masuk Indonesia. Waktu itu berniat menuliskannya, tetapi kemudian niatnya hilang, tenggelam oleh ini itu.

Lalu, bagaimana proses masuk Indonesia dari luar negeri di tengah pandemi? Tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi ketika masuk Indonesia pada minggu ketiga Oktober 2021. Karena situasinya cepat sekali berubah, maka begitu pula aturannya.

Sebelum masuk Indonesia, hal pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan aturan yang berlaku. Misalnya, lokasi kedatangan dari luar negeri, tempat karantina, serta lama karantina. Oktober lalu, lokasi kedatangan masuk Indonesia lewat jalur udara hanya ada dua, yaitu Jakarta dan Manado.

Meskipun tujuan akhirku adalah Bali, tetap saja aku harus karantina di Jakarta karena tujuan penerbanganku dari Turki adalah Bandara Internasional Soekarno Hatta, bukan Bandara Ngurah Rai, Bali. Maka, suka tak suka, mau tak mau aku terpaksa karantina di Jakarta.

Langkah kedua adalah memastikan tempat karantina. Saat itu, pemerintah Indonesia memberikan layanan gratis karantina untuk tiga kelompok: pekerja migran, pelajar atau mahasiswa, dan pegawai pemerintah. Lokasi karantinanya di Wisma Atlet.

Warga di luar kelompok itu harus bayar sendiri. Begitu pula aku.

Oleh karena itu, aku harus mengurus sendiri semua proses karantina, termasuk mencari lokasinya. Dan, ini bagian yang agak repot. Aku harus mencari lokasi-lokasi karantina di Jakarta, sementara saat itu sedang berada di Istanbul, Turki.

Inilah salah satu alasan kenapa jalan-jalan di Turki jadi kurang menyenangkan, karena kepikiran nanti pulang harus karantina dan bayar sendiri. Hihihi..

Lokasi karantina bagi warga di luar tiga kelompok yang ditanggung pemerintah adalah di hotel. Ada 60 hotel lokasi karantina dari luar negeri yang sudah ditentukan pemerintah Indonesia. Mereka terbagi dalam tiga kelas, yaitu bintang 3, 4, dan 5. Tarif karantinanya sesuai dengan bintang dan layanan masing-masing. Dari sekitar Rp 5.000.000 hingga hampir Rp 50.000.000.

Untuk mendapatkan tarif itu, aku harus tanya satu per satu hotel yang memungkinkan sesuai bintang dan lokasinya. Setelah cek ricek dan tanya sana sini, aku memilih paket karantina di Swiss-Bel Inn Simatupang, Jakarta Selatan. Agak jauh dari bandara, tetapi kayaknya ini yang paling sesuai dengan kantong dan keinginan.

Tarif di sini Rp 4.930.000 sudah termasuk karantina lima hari empat malam terhitung sejak tiba di Indonesia, dua kali pemeriksaan COVID-19, makan tiap hari selama karantina, dan cuci pakaian. Pembayarannya bisa pada saat baru masuk (check in).

Setelah beres dengan pemesanan, aku mendapatkan tanda pemesanan. Berkas ini akan jadi bukti ketika masuk Indonesia. Dia jadi salah satu syarat masuk Indonesia dari luar negeri, selain syarat lain seperti hasil tes COVID-19 dari negara asal, kartu vaksin, dan pengisian e-HAC.

Aku kira dengan semua persyaratan itu sudah di tangan, masuk Indonesia akan lebih cepat dan mudah. Aku bayangkan akan semudah ketika masuk Bosnia dan Turki. Cukup menunjukkan semua persyaratan pada petugas Imigrasi lalu selesai. Ternyata tidak juga.

Ketika akhirnya masuk Indonesia dengan penerbangan dari Turki, prosesnya tetap ribet juga. Berlapis-lapis prosesnya. Kelihatan sekali Indonesia ini suka birokrasi. Masak hanya di bandar saja perlu sampai lima kali titik pemeriksaan: dokumen masuk, tes COVID-19, pendaftaran karantina, hasil tes, dan sebelum keluar bandara. Total waktunya lebih dari dua jam.

Pengen protes karena ribetnya, tetapi kemudian mikir: bukankah ini yang seharusnya memang dilakukan Indonesia untuk mengendalikan laju penularan COVID-19? Aneh saja rasanya. Dulu suka protes karena menganggap syarat masuk Indonesia terlalu longgar, eh, giliran mengalami sendiri ketatnya masuk malah mau protes. Hehehe..

Setelah dua jam lebih mengurus tetek bengek persyaratan dan pemeriksaan di bandara, akhirnya tiba juga di hotel. Di sinilah kemudian selama lima hari aku menjalani karantina. Sendiri. Dalam kamar. Lima hari. Tak boleh ke mana-mana.

Benar, memang. Karantina itu tidak menyenangkan. Merasa terpenjara karena tak bisa ke mana-mana. Setelah sebelas hari meninggalkan keluarga, masih ditambah lima hari karantina. Rasanya kayak tidak terima.

Untungnya makanan di hotel termasuk enak. Koneksi internet juga lantjar djaja. Jadi, lumayan bisa mengobati kerinduan pada makanan Indonesia sekaligus tetap bekerja.

Positifnya, lima hari itu jadi bisa aku pakai untuk adaptasi dengan waktu Indonesia plus beres-beres kerjaan. Dua malam masih menyesuaikan jam tidur setelah peralihan dari Eropa. Sisanya molor dengan lancarnya. Begitu pula pekerjaan. Lumayan untuk kelarin utang-utang kerjaan yang ditinggal selama di Bosnia dan Turki.

Hasil lainnya, jadi merasa lebih sehat dan baik saja untuk keluarga. Merasa yakin tidak membawa COVID-19 ketika pulang dan kembali memeluk anak istri.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *