Dunia Tak Akan Kiamat Jika Kita Terlambat

0 , Permalink 0
Tak cukup ada, kita pun memerlukan validasi, termasuk melalui media sosial.

Sering sekali aku melihat kejadian semacam ini.

Seorang pengendara sepeda motor langsung meraih ponsel di bagian depan sepeda motornya. Padahal, dia baru saja berhenti di lampu merah. Sambil menunggu lampu merah menyala, dia khusyuk menatap ponselnya.

Begitu lampu merah berganti kuning, lalu hijau, dia buru-buru memasukkan ponselnya lagi di tempat semula. Tempat ini semacam lubang yang biasanya ada di bawah setir sepeda motor bebek jenis matic.

Ponsel itu ditaruh begitu saja di tempat yang tanpa tutup itu. Hal yang kadang-kadang membuatku berpikir: Bagaimana kalau ponselnya jatuh? Bagaimana kalau ada orang jahat yang merampas ponsel itu?

Namun, yang lebih sering aku tanyakan adalah, “kegentingan apakah gerangan yang membuat orang-orang begitu buru-buru memeriksa ponselnya?”

Pertanyaan itu muncul tidak hanya ketika melihat orang bergegas memeriksa ponselnya ketika di lampu merah. Pertanyaan serupa juga muncul ketika melihat orang langsung buka ponsel saat pesawat baru saja mendarat. Melihat orang memelototi ponselnya sambil makan. Melihat orang yang berjalan kaki dengan menunduk menatap ponselnya.

Anak dan orang tua berada di meja makan yang sama, tetapi masing-masing sibuk sama ponselnya. Pasangan duduk bersebelahan, tetapi satu tangan masing-masing menggulir ponsel. Mata mereka pun demikian, menatap lekat pada layar. Bukan pada mata orang yang begitu dekat dengan mereka.

Gusti, kegentingan apakah kiranya yang membuat manusia kiwari begitu terobsesi dengan ponselnya?

Makin hari, aku melihat kondisi itu makin terasa mengganggu. Karena seperti mereka, aku pun mengalami situasi yang kurang lebih sama. Begitu bangun tidur, langsung cek ponsel. Tidak hanya melihat jam (ini yang utama), tetapi juga lanjut membuka aplikasi percakapan dan melihat media sosial.

Rata-rata hanya sekitar 5-10 menit. Setelah buka semua, langsung taruh ponsel lagi. Toh, tetap saja itu mengganggu pikiranku sendiri: kenapa aku menjadi begitu terobsesi dengan kebaruan di ponsel ini?

Bisa jadi, semua bermula dari ponsel itu sendiri. Secara fisik, dia barang yang memang sangat nyaman untuk digunakan. Tidak seperti, katakanlah, laptop atau televisi yang terlalu besar untuk dibawa ke mana-mana. Ukuran ponsel pas sesuai genggaman tangan. Bentuknya pas dengan desain kantong. Jadi, dia tak hanya mudah digenggam, tetapi juga enak dibawa ke mana-mana.

Karena mudah digenggam, maka dia gampang sekali digunakan. Hanya dengan satu tangan, kita bisa membukanya lalu menelusuri dunia yang sering kali menerbangkan kita ke berbagai tempat secara virtual ini.

Itulah mungkin penyebab lain kita kecanduan sama ponsel: dia menawarkan dunia yang sangat beragam. Karena tersambung dengan internet, ponsel membuat kita bisa menjelajah secara virtual ke mana saja, kapan saja, di mana saja.

Karena manusia adalah makhluk sosial, maka internet di ponsel itu pun klop dengan sifat ini. Manusia merasa terhubung dengan manusia lain meskipun dia hanya terkoneksi melalui internet di ponsel. Tak menarik jika berbincang dengan tetangga atau orang asing di dekat kita.

Kemudian hadirlah candu lain di ponsel, media sosial. Teknologi ini semakin memanjakan ego setiap manusia untuk mengada. Untuk eksis.

Sebagai manusia kita ingin agar diketahui bahwa kita benar-benar ada. Manusia yang eksis. Percuma kita ada sebagai manusia, tetapi tidak hadir di media sosial. Maka, kita pun menjadi homo digitalis. Kita harus mengada pula secara digital.

Kita akan dianggap tidak ada jika tidak ditemukan di media sosial.

Ketika kita mengada, tak cukup hanya dengan kehadiran akun atas nama kita. Kita juga harus mendapatkan pengakuan. Validasi. Inilah tahapan selanjutnya penyebab kita kecanduan pada ponsel. Kita perlu pengakuan dari sesama homo digitalis. Kita kemudian memburu validasi itu melalui unggahan. Orang-orang mengunggah apapun yang mereka lihat, alami, dan pikirkan.

Pintar (apa licik?)-nya lagi, media sosial kemudian memanfaatkan ego dan nafsu manusia agar terlihat ada dan diakui itu. Algoritma media sosial dibuat sedemikian rupa agar kita makin sering membuka media sosial. Algoritma hanya menghadirkan apa yang kita sukai, orang-orang terdekat kita, dan semua preferensi yang diolah dari perilaku kita di media sosial.

Habis validasi, terbitlah eksploitasi.

Data-data tentang kita semua adalah bahan bakar. Bahan tambang. Sumber daya tak habis-habisnya. Data-data tentang kita adalah sumber pundi-pundi pemilik media sosial. Ironisnya, kita semua menikmati eksploitasi itu. Kita bahagia saat ada yang menyukai atau bahkan mengomentari unggahan kita.

Demi menemukan kebahagiaan semu itulah, kita semua menjadi manusia yang begitu buru-buru. Langsung buka ponsel ketika baru bangun tidur. Langsung cek pesan ketika baru mendarat. Langsung buka ponsel begitu ada kesempatan, meski lagi di tengah jalan sekali pun.

Lalu, kita merasa begitu hampa ketika tidak ada yang memberikan tanda jempol atau jantung pada unggahan kita. Lalu, kita merasa begitu kecewa ketika tidak ada segera mendapatkan jawaban di aplikasi percakapan. Juga, kadang-kadang, kita begitu iri atau galau ketika melihat teman lain mengunggah hal yang terlihat begitu menyenangkan bagi mereka. Hal yang sering kali palsu. Tersenyum hanya untuk keperluan unggahan, lalu kembali manyun.

Padahal, percayalah, kita akan baik-baik saja jika tidak begitu terobsesi dengan ponsel, dengan internet, dengan media sosial, dengan validasi. Dunia akan baik-baik saja meski kita menikmati semuanya kita jalani dengan pelan-pelan saja. Tidak perlu buru-buru. Tidak perlu juga semua harus diumbar di media sosial.

Mari menikmati hidup yang lebih sepi. Hari-hari yang mungkin lebih lambat. Barangkali dengan begitu kita bisa menjalani hidup yang lebih menyenangkan dan menenangkan…

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *