Bosnia seolah tak punya basa-basi.
Begitu masuk mobil penjemput, kisah muram perang langsung menyambut kami. Sandi, sopir penjemput dari bandara, menceritakan bagaimana Perang Balkan memisahkan warga Bosnia berdasarkan tiga identitas utama, Bosnia Muslim, Kroasi Katolik, dan Serbia Ortodoks.
Sandi lahir ketika Perang Balkan sedang terjadi. Sebagai bayi, dia belum tahu tentang agama, etnis, ataupun identitas lain yang memisahkan dan membedakan manusia. Toh, dia harus mengalami suasana perang atas nama identitas tersebut.
Seperti anak-anak seusianya, Sandi terpaksa merayakan ulang tahun pertamanya di antara desingan peluru. Dia tumbuh di antara kecemasan, ketakutan, dan kematian yang bisa datang kapan saja. Tidak seperti namanya yang berarti doa dan harapan tentang kedamaian.
Trauma itu lalu membekas dalam ingatannya. Sebagaimana warisan perang itu tertinggal pula pada wajah Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina.
Malam pertama ketika aku tiba di Sarajevo, sisa-sisa perang itu tidak terlihat sama sekali. Kesan awal saat tiba hanya perihal betapa kecilnya bandara di sini dan mudahnya proses masuk negara ini.
Lalu, sambil menyusuri perjalanan dari bandara menuju hotel kami di kawasan kota tua, Sandi bercerita tentang perang pada 1991-1995 itu. Dia menunjukkan, misalnya, bukit di mana pasukan Serbia mengepung Sarajevo, menggunakan penembak jitu untuk meneror warga. Ada juga gedung-gedung dengan lubang bekas tembakan yang masih dibiarkan.
Dan, cerita Sandi hanya permulaan. Selama lima hari di Bosnia, nyaris setiap hari ketika berdiskusi dengan warga setempat, mereka mengatakan kenangan buruk serupa. Juga ketakutan mereka bahwa perang akan terjadi lagi kapan saja.
Perjalananku ke Bosnia Herzegovina, nama resmi negara ini, sebagai peserta program Global Exchange on Religion in Society (GERIS) yang dilaksanakan Uni Eropa. Program ini mempertemukan para aktivis organisasi masyarakat sipil, peneliti, ataupun komunitas terkait isu keberagaman. Namun, ada pula beberapa jurnalis ikut serta, termasuk aku.
Peserta program ada sekitar 15 orang dari berbagai negara, yaitu Turki, Nigeria, Uganda, Siprus, Belgia, Amerika Serikat, Irlandia, Argentina, Guatemala, dan lain-lain. Kayaknya dari Asia hanya ada aku. Jurnalis hanya ada tiga.
Kunjungan ke Bosnia sendiri hanya salah satu bagian dari enam kunjungan ke negara-negara berbeda dengan tema dan peserta berbeda pula. Ada, misalnya, kunjungan ke Belgia untuk belajar tentang keberagaman agama. Ada juga ke Amerika Serikat untuk belajar tentang bagaimana menjadi minoritas. Juga ke Indonesia tentang rekonsiliasi dan keadilan transisional yang akan diadakan Maret tahun depan.
Adapun tema kunjungan ke Bosnia Herzegovina adalah kewarganegaraan yang aktif (active citizenship). Karena itu, selama di Bosnia, kami bertemu dengan aktivis organisasi nonpemerintah, komunitas, ataupun lembaga pemerintah yang bergiat di topik ini.
Sayangnya, kami menemukan lebih banyak cerita muram dan ketakutan daripada harapan dan pembelajaran tentang warga yang aktif. Kesan serupa pun tertangkap dari komentar peserta lain.
Pada hari pertama kegiatan resmi, kami berdiskusi dengan aktivis LINK 4 Cooperation, organisasi masyarakat sipil dari Mostar, Bosnia bagian selatan. Organisasi ini bergerak di isu partisipasi warga dalam demokrasi. Mereka mengenalkan kami pada ruwetnya sistem politik Bosnia dan Herzegovina. Sistem politik di negara termasuk salah satu sistem paling kompleks di dunia.
Lha mereka saja bingung. Apalagi aku. Meski sudah menonton video YouTube di bawah ini berkali-kali, tetap saja aku tidak sepenuhnya mengerti.
Secara sederhana sistem politik di Bosnia Herzegovina dibangun berdasarkan pembagian etnis (dan agama). Hanya ada tiga etnis yang diakui, yaitu Bosnia, Kroasia, dan Serbia. Ketiganya identik dengan agama pula sehingga selalu disebut sebagai satu kesatuan: Bosnia Muslim, Kroasia Katolik, dan Serbia Kristen Ortodoks.
Etnis-etnis lain di luar tiga etnis terbesar itu hanya sekadar lian. The others. Mereka tak memiliki hak istimewa untuk diakui atau bahkan dipilih sebagai pemimpin. Keluhan itu muncul ketika pada hari kedua kami bertemu dengan kelompok etnis minoritas, seperti Albania, Rumania, dan lain-lain.
Balik ke sistem politik. Pemisahan itu terjadi mulai dari pemilihan legislatif, pemerintahan oleh eksekutif, hingga layanan publik sehari-hari. Contohnya pendidikan. Orang Serbia Ortodoks hanya bisa sekolah di lembaga pendidikan yang dikelola pemerintahan orang-orang Serbia Ortodoks. Begitu pula dengan layanan kesehatan, bank, dan lain-lain.
Masalahnya, pemerintah dan layanan publik yang berbeda itu juga menggunakan materi yang berbeda. Akibatnya, pemisahan itu juga semakin kuat dari generasi ke generasi. Tak ada identitas tunggal sebagai satu bangsa. Mereka terpisah-pisah berdasarkan ikatan primordialisme etnis dan agama.
Namun, itulah harga yang harus mereka bayar setelah Perang Balkan. Setelah perang itu usai pada 1995 setelah parapihak menandatangani Perjanjian Daytona. Salah satu materi perjanjian itu disahkan, mereka sepakat membagi Bosnia Herzegovina dalam dua negara bagian, yaitu Bosnia Herzegovina di sisi selatan dan Republik Srpska di sisi utara.
Dalam kehidupan sehari-hari, warga juga terbiasa hidup terpisah berdasarkan identitas itu. Satu sama lain saling curiga. Menganggap orang dari etnis berbeda sebagai pihak yang bisa sewaktu-waktu bisa membinasakan mereka.
Pemisahan warga itu semakin terasa ketika masuk ke isu politik. Biasalah, para politisi memang paling suka menggunakan identitas sebagai kendaraan politik. Dan, inilah yang selalu membuat warga selalu dalam ketakutan.
Perang bisa terjadi kembali kapan saja. Negara ini tak punya harapan.
Itu bukan pendapatku. Itu pendapat hampir semua orang yang aku temui selama satu minggu di sini. Dari Sarajevo sebagai pusat pemerintahan, Mostar di selatan, hingga Banja Luka Srpska di sisi utara, pesimis serupa nyaris selalu menghiasi tiap diskusi.
Bahkan, ketakutan sama persis disampaikan bahkan ketika aku meninggalkan negara ini. Tanpa ditanya, Hamid, sopir yang mengantarkan kami ke bandara pada hari terakhir di Sarajevo, menceritakan pengalamannya hidup mengungsi ketika perang terjadi. Juga soal ketakutannya tentang masa depan negara tempat dia lahir dan sekarang tinggal.
“Setiap hari, kami selalu bersiap perang akan terjadi,” katanya.
Leave a Reply