Papan keterangan jurusan kereta itu membingungkanku.
Di sana tertulis Louvain, nama kota yang baru aku tahu pertama kali di sini. Sementara di tiket yang aku pegang, tertulis jurusan kereta tersebut adalah Lueven, kota kecil berjarak sekitar 45 km dari Brussels.
Karena nama di papan berbeda dengan nama di tiket, aku ragu-ragu. Benar tidak ya kereta dari Stasiun Brussels Central, Belgia ini memang searah dengan tujuanku?
Setelah penumpang lain mengiyakan bahwa kereta itu memang ke Leuven, aku baru masuk gerbong. Tapi, aku masih agak ragu-ragu. Begitu dapat kursi dan kereta sudah berjalan, aku kembali bertanya padanya lagi. Dia meyakinkanku lagi. Kereta ini memang berjalan ke arah sesuai dengan tiketku meski berbeda namanya.
“Membingungkan. Di tiket tertulis Leuven. Tapi di papan informasi tertulis Louvain,” kataku padanya.
“Inilah Belgia,” katanya lalu tertawa.
Ya. Inilah Belgia. Soal bahasa memang membingungkan orang yang belum mengenal negara ini. Negara ini punya tiga bahasa nasional: Belanda, Perancis, dan Jerman. Dari tiga bahasa tersebut, Bahasa Belanda dan Perancis yang seperti saling rebut satu sama lain. Dua bahasa nasional ini digunakan di hampir semua tanda-tanda yang ada di tempat publik.
Begitu pula dengan tujuan kereta. Louvain adalah bahasa Perancis sementara Leuven adalah bahasa Belanda. Karena tak tahu bahwa Lueven dan Louvain adalah satu tempat yang sama, makanya aku bingung pas mau naik kereta.
Ketika baru sampai di stasiun Brussels Central aku juga bingung. Bukannya menggunakan tanda dengan keterangan bahasa di bawahnya, sebagian besar tanda-tanda di stasiun ini hanya menggunakan gambar tanda. Misalnya gambar eskalator merujuk pada alat untuk naik turun tersebut. Aku menduga tujuannya agar tanda-tanda itu tak memakai bahasa salah satu dari dua bahasa nasional di sana.
Di hampir semua fasilitas publik yang aku lihat kemudian, Belanda dan Perancis itu memang selalu digunakan bersama. Marka jalan, informasi ATM, daftar menu restoran, keterangan patung atau gedung, dan lain-lain.
Sepertinya sepele: hanya satu tanda dengan dua bahasa. Tapi di baliknya ada silang sengketa yang tak kunjung selesai juga, rebutan kuasa antara bahasa Perancis dan Belanda. Silang sengketa bahasa di Belgia sudah beranak pinak ratusan tahun.
Saling Rebut
Negara kecil ini terjepit di antara tiga negara lain: Belanda di utara, Perancis di selatan, dan Jerman di timur. Secara etnis, wilayah utara Belgia ditempati orang-orang Flemish, disebut juga Flanders yang sehari-hari berbahasa Belanda.
Di wilayah selatan, warga Belgia adalah etnis Walloonian. Mereka berbahasa Perancis atau dikenal juga dengan nama Francophon alias orang-orang yang bicara bahasa Perancis. Di sisi timur, meski jumlahnya lebih sedikit, ada orang-orang keturunan Jerman yang juga berbicara dalam bahasa Jerman.
Di antara tiga etnis utama itu, Walloonian dan Flemish yang selalu saling rebut “kekuasaan”. Belgia seperti pecah di antara dua etnis utama ini. “Tidak ada itu Belgia. Yang ada hanya Flanders dan Wallonian,” tulis The Guardian, koran terbitan Inggris awal Mei lalu.
Tidak ada batas jelas, misalnya sungai atau hutan, antara Flanders dan Wallonian. Adanya hanya garis abstrak merujuk pada penggunaan bahasa itu tadi. Kalau di daerah itu sebagian besar orang menggunakan bahasa Belanda, berarti itu Flanders. Kalau daerah itu berbahasa Perancis, berarti Wallonian.
Brussels, ibukota Belgia, berada di tengah-tengah dua wilayah utama ini. Secara geografis, dia berada di wilayah Flanders. Tapi sebagian besar warganya adalah orang Wallonian. Maka, kota ini pun jadi semacam pusat “pertempuran” antara Flanders dan Wallonian. Dia harus berkompromi dengan empat bahasa sekaligus, termasuk Jerman dan Inggris.
Selain dalam masalah sehari-hari yang sepele, silang sengketa penggunaan bahasa ini terjadi juga di masalah lebih serius, misalnya, konstitusi. Di aturan negara selalu tertulis dalam tiga bahasa: Jerman, Perancis, dan Belanda.
Tiap anggota legislatif menggunakan bahasa masing-masing. Orang Flanders dalam bahasa Belanda, orang Wallonian dalam bahasa Perancis, dan orang Jerman dalam bahasa Jerman. Karena itu harus selalu ada penerjemah di legislatif Belgia.
Pada tahun 2007, negara ini tanpa pemerintahan akibat tak kunjung selesainya masalah dua bahasa ini. Perdana Menteri mereka mundur karena sengketa dua bahasa ini. Tahun ini, hal serupa kembali terjadi. Perdana Menteri Belgia Yves Leterme mundur setelah lima bulan menjabat. Lagi-lagi ya karena persoalan bahasa ini.
Tanpa bahasa nasional ini maka tak ada pula media nasional. Tiap media, seperti TV dan koran, hanya ada dalam bahasa masing-masing etnis.
Di bagian lain, misalnya kampus Lueven, sengketa dua bahasa ini pun pernah terjadi. Ketika dipimpin orang-orang Wallonian, kampus ini menggunakan bahasa resmi Perancis. Orang-orang Flanders kemudian memprotes dan mendirikan kampus sendiri. Sengketa serupa juga terjadi pada hal-hal kecil lain seperti acara bersama. Silang sengketa dua bahasa ini pun terus terjadi.
Konflik akibat sengketa dua bahasa ini kadang terjadi secara terbuka meski tak sampai ada korban jiwa. Tapi, menurutku, sengketa dua bahasa ini ibarat api dalam sekam. Kapan pun bisa meledak. Belgia masih beruntung karena ekonominya maju. “Kalau negara ini tidak mapan secara ekonomi, aku yakin masalah bahasa ini akan membawa pada perang saudara,” kata Nelle, teman di Belgia.
Berkaca pada sengketa bahasa di Belgia, tiba-tiba aku bangga juga jadi orang Indonesia. Meski punya ratusan bahasa lokal, negara ini hanya punya satu bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Kerennya..
June 1, 2010
hahaha.. untuk yang satu ini, aku bangga, aku orang Indonesia 😀
June 4, 2010
mengingatkanku pada Singapore 😀 cuma Belgia nampaknya lebih kompleks. identitas memang penting yah ternyata…