Beratnya Menahan Diri saat Banjir Informasi

Asap putih lebih pekat muncul dari puncak Gunung Agung.

“Beda kan awannya? Lebih gelap dan pekat dibanding awan-awan di atasnya. Sepertinya itu awan dari kawah,” kataku percaya diri.

Petugas di sebelah tersenyum. Dia seolah mengiyakan.

Dengan penuh percaya diri, aku langsung membagi foto dari ponsel itu grup Wartawan Peduli Bencana (Wapena) Bali. Keterangan fotonya: muncul awan tidak biasa dari Gunung Agung pagi ini. Sepertinya bukan awan biasa.

Informasi dan foto itu lalu aku sebar juga di Twitter dengan sedikit perubahan, muncul asap dari kawah Gunung Agung. Penuh percaya diri. Pokoknya sudah serasa orang paling ahli soal vulkanologi.

Sekitar semenit kemudian, aku hapus twit itu.

Informasi itu hanya hasil spekulasi. Aku tidak tahu pasti apakah awan lebih pekat itu memang dari kawah atau dari tempat lain. Aku baru ingat kemudian bahwa pada saat yang sama sedang terjadi kebakaran di sisi timur laut Gunung Agung. Bisa jadi awan pekat itu dari kebakaran, bukan dari kawah.

Gunung berapi tertinggi di Bali itu sedang naik statusnya. Pekan lalu dari Normal menjadi Awas. Sejak semalam pukul 21 WITA, statusnya naik lagi jadi Waspada.

Maka, pagi tadi aku dan Bunda pun liputan ke Pos Pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem. Lokasinya sekitar 45 km dari Denpasar. Perjalanan sekitar 1,5 jam.

Toh, meskipun sudah di lokasi, aku pun bisa tertipu mataku sendiri. Apa yang terlihat di depan mata diterjemahkan dengan cepat oleh otakku dan dilengkapi sejumlah asumsi. Padahal, aku bukan ahli.

Asap lebih pekat, belum tentu dari kawah.

Begitu pula dengan hujan abu yang konon terjadi sejak semalam di beberapa desa sekitar Gunung Agung. Sejak tadi malam, bersamaan dengan kenaikan status Gunung Agung, informasi soal hujan abu sudah menyebar di beberapa grup WhatsApp yang aku ikuti.

Sekali lagi, semua hanya asumsi.

Foto dan informasi “hujan abu” yang beredar di media sosial dan grup WhatsApp sesungguhnya hanya dari abu kebakaran di Gunung Agung. Bukan hujan batu dari kawah Gunung Agung yang statusnya Siaga.

Begitulah banjir informasi saat ini, terutama di saat ada bencana. Orang-orang menjadi tak sabar untuk menahan diri dan memeriksa ulang apakah informasi yang mereka dapatkan itu benar atau tidak. Begitu dapat informasi, langsung sebar.

Ini terjadi pada banyak orang. Ketergesaan menjadi penyakit manusia modern. Semua ingin cepat-cepat sampai. Semua mau mengendarai kendaraan pribadi. Lalu, semua membuat kemacetan. Bilangnya sih terjebak kemacetan padahal mereka sendiri yang menyebabkannya.

Dalam hal informasi tentang Gunung Agung terjadi hal serupa. Semua ingin terlihat paling cepat tahu. Paling cepat dapat informasi. Paling di depan. Padahal hanya membuat kepanikan.

Aku termasuk salah satunya. Ternyata memang susah sekali menahan diri untuk tidak segera menyebar informasi yang kita dapatakan, apalagi dari lapangan.

Tujuannya ya cuma biar keliatan paling cepat tahu saja. Pokoknya harus paling cepat. Soal akurasi, itu urusan nomor seribu lima ratus enam puluh empat. Belakangan..

Susahnya kan kalau informasi itu terkait bencana semacam ini. Informasi cepat tidak ada gunanya kalau hanya spekulasi. Sebaliknya, dia justru menyebabkan kepanikan.

Lalu, bagaimana caranya?

Untuk jurnalis, tetap harus meminta pendapat ahli. Apa yang terlihat oleh mata, belum tentu begitulah faktanya. Asap pekat yang muncul dari puncak gunung, belum tentu dari kawah. Nyatanya malah dari kebakaran.

Untuk warga, percayalah pada sumber-sumber resmi. Dalam konteks situasi terkini di Gunung Agung, gunakan saluran informasi dari lembaga-lembaga resmi semacam Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan semacamnya.

Akseslah akun-akun resmi mereka di Facebook, Twitter, ataupun Android.

Informasi dari sumber-sumber resmi bisa dipercaya karena memang dibuat oleh para ahli berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Bukan hanya dugaan atau hanya cari sensasi. Dengan berdasarkan informasi resmi, kita bisa lebih arif melakukan mitigasi.

Jangan sampa bencana terjadi justru dari ketidakarifan kita dalam memilah dan menyebarkan informasi.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *