Tiga kursi satu baris itu telah terisi.
Dua perempuan dan satu laki-laki. Salah satunya sudah duduk manis di kursi bernomor sama dengan nomor kursi di boarding pass punyaku.
Aku langsung ragu-ragu. Jangan-jangan aku yang salah. Aku lihat lagi baik-baik keduanya, nomor di boarding pass lalu nomor kursi itu. Aku benar sih.
Di depanku, dua penumpang lain – sepertinya pasangan muda – berdiri persis di baris yang sama. Mereka datang dari pintu belakang, aku dari pintu depan. Kami sama-sama di pesawat yang hendak meinggalkan Bali menuju Jakarta kemarin sore.
Pasangan muda itu yang kemudian bertanya ke tiga penumpang yang sudah duduk manis. Mereka yang duduk, ternyata memang satu rombongan, awalnya agak nyolot dan ngotot. Mereka bilang sudah duduk sesuai dengan nomor kursinya.
Dan, mereka memang benar. Kursi kami berenam – tiga yang sudah duduk, pasangan muda, dan aku sendiri – memang nomornya sama. Bagaimana bisa?
Petugas darat maskapai kemudian memberikan jawabannya. Dia datang ketika kami dalam kebingungan. Petugas itu kemudian minta maaf ke tiga penumpang itu.
“Ibu seharusnya ikut pesawat yang jam 16.50 nanti. Ini yang jam 16.00,” katanya.
“Lho, kenapa kok tadi dikasih masuk pas boarding? Kenapa sudah di dalam malah disuruh keluar? Pelayanan macam ini? Jelek sekali. Awas ya nanti saya laporkan!!” si penumpang yang sudah duduk merepet ngomel.
Mereka tidak terima. Petugas menjelaskan.
Si ibu yang ngomel melunak. Bersama dua temannya dia berdiri. Mengambil koper di ruang bagasi. Menariknya keluar dari pesawat sambil terus mengomel. Aku mengingat beberapa kata yang terus saja diulang. “Pelayanan jelek.” “Awas nanti saya laporkan.”
Aku merasakan seluruh penumpang penumpang seperti melihat kegaduhan kecil sore itu. Di telingaku langsung terdengar semacam musik latar (score) adegan konyol tentang seseorang yang berbuat salah, ketahuan, terus campur aduk antara malu dan marah.
Si ibu dan dua temannya itu menjadi pelaku adegan konyol tersebut.
Sembari duduk bersiap terbang, aku memikirkan betapa lazim hal semacam itu. Kita lebih suka menyalahkan orang lain daripada refleksi terhadap apa yang sudah kita lakukan jika kita melakukan kesalahan.
Eh, sori. Mungkin cuma aku, bukan kita.
Dalam kasus tiga penumpang yang salah pesawat itu, tidakkah sudah sangat jelas ada di boarding pass tentang nomor penerbangan dan jam naik pesawatnya? Karena sudah sangat jelas di sana, seharusnya mereka bisa memulai dari tahap pertama: memastikan bahwa nomor dan jam penerbangan sudah sesuai dengan yang tercatat di boarding pass mereka.
Alih-alih meminta maaf karena membuat penumpang lain sampai harus berdebat dulu, toh tiga penumpang itu lebih senang menyalahkan petugas darat.
Namun, dalam konteks berbeda, aku pun sering berlaku serupa tiga penumpang itu. Ketika terjebak macet, aku memilih menyalahkan pengguna kendaraan lain, bukan diriku. Padahal, aku juga menjadi bagian dari pembuat kemacetan.
Daripada mengaku sebagai pelaku, aku lebih sering menyebut diri sebagai korban.
Ketika naik sepeda motor, aku akan menyalahkan pengguna mobil. Lha wong cuma satu orang kok naik mobil. Kan mending naik motor. Begitu naik mobil, gantian aku menyalahkan pengendara sepeda motor. Kenapa orang naik sepeda motor suka nyerobot seenaknya. Bikin macet saja.
Melihat sampah plastik di sungai atau pantai, aku otomatis menyalahkan orang lain. Kenapa mereka membuang sampah seenaknya. Padahal, bisa jadi, sampah plastik itu dari rumahku sendiri yang diangkut tukang sampah lalu dibuang begitu saja di tempat pembuangan sampah.
Dalam skala lebih luas, hal serupa berlaku sama. Kelompokku pasti yang benar, kelompok orang lain yang salah. Agamaku. Etnisku. Rasku. Orientasi seksualku. Ideologi politikku.
Jika ada dua kelompok berkonflik dan itu melibatkan salah satu kelompok di mana aku jadi bagian dari kelompok itu, aku cenderung membela kelompokku. Pokoknya kelompokku pasti benar!
Kita, eh aku, dibutakan fanatisme kelompok yang tidak masuk akal. Solidaritas yang membunuh logika.
Leave a Reply