Ibarat pendeta, Petra memberikan banyak fatwa.
Cobalah dengarkan salah satu petuahnya. “Hidup memang harus canggih, tapi pastikan kau yang pegang kendali. Perhatikan nafasmu, degup irama mewah tersyahdu. Beri pesona sebagaimana yang semestinya..”
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
Berita duka itu menyentak di pagi yang masih amat sunyi.
Mataku belum sepenuhnya melek. Masih rebahan di kasur sambil menggeser-geser akun media sosial berbagi foto, Instagram.
“Saya tak akan merunduk-runduk sejak awal minta maaf bahwa kumpulan tulisan ini masih jauh dari sempurna,” tulis Rudolf Dethu.
Dethu menulis kalimat tersebut pada paragraf terakhir buku Blantika Linimasa, Kaleidoskop Musik non-Tradisi Bali. Seperti biasa, teman di Bali Creative Community (BCC) ini memang suka njeplak dan sarkas.
Di atas panggung, Cholil Machmud seperti berorasi, tak sekadar menyanyi.
Biduan alias vokalis Efek Rumah Kaca (ERK), band trio asal Jakarta, tersebut meneriakkan gugatannya. “Ku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi, aku tak pernah mati. Tak akan berhenti..”
Di balik nama besarnya, tiga personil SID punya cerita berbeda-beda. Jauh dari gemerlap musisi dengan jutaan penggemar.
Cerita berbeda itu aku dapatkan setelah membuat liputan tentang Superman is Dead (SID) untuk majalah Rolling Stone Indonesia. Sebelum liputan ini, aku mengenal SID dan tiga personilnya hanya dari sumber lain. Misalnya dari media massa atau teman mereka yang juga temanku.
Pertama, aku harus minta maaf ke Bu Ketua Panitia dan Wakilnya. Soale aku telat datang di Kopi darat sambil buka puasa bareng alias Kopdar sambil Bubar ala BBC kemarin petang. Pukul 4an sore aku baru berangkat dari rumah. Biasalah. Tradisi dan budaya Indonesia kan harus dilestarikan. Salah satunya tradisi ngaret itu. Hehe..
Pas sampai di Panti Asuhan Tat Wam Asi, acara ternyata sudah jalan. Hendro sudah duduk manis di depan bersama empat ibu lainnya, yang semuanya dari panti asuhan di jalan Jaya Giri Renon tersebut. Benar-benar tidak enak hati. Soale aku sudah diminta jadi pembawa acara sebelumnya. Dan aku mengiyakan. Eh, ternyata aku telat.
Sabtu (2/8) lalu saya ikut perayaan mengenang dr AA Made Djelantik, pangeran dari Puri Karangasem yang meninggal September 2007 lalu. Perayaan ini digelar di Taman Ujung Sukasada, taman air sisa kejayaan Kerajaan Karangasem. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik untuk datang. Tapi karena istri saya ngotot ingin hadir di sana, jadi ya kompromi saja.
Satu hal yang membuat saya tetap mau datang, meski tidak terlalu antusias, adalah karena bedah buku yang akan menghadirkan Goenawan Mohamad, biasa dipanggil GM atau Mas Gun. GM bukan hanya wartawan dan sastrawan tapi, bagi saya, juga salah satu filsuf yang sering memberi perspektif alternatif ketika melihat masalah. Maka, kami pun tetap ke Karangasem untuk hadir pada perayaan tersebu.