Diam-diam, Nusa Penida makin membuat ketagihan.
Makin sering kami datang, makin sering kami ingin berkunjung lagi. Makin banyak tempat kami jelajahi, makin banyak pula cerita dan perspektif baru tentang pulau ini.
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
“Singapura bukan tempat yang enak buat hidup.”
Jawaban senada itu datang dari empat orang berbeda di tempat berbeda dan dalam waktu berbeda pula. Amat mengejutkan bagiku.
Empat orang itu dua orang Indonesia, satu warga Singapura sendiri, dan satu lagi orang Belanda. Keempatnya memberikan jawaban senada. Bagi mereka, Singapura itu memang tertib, aman, sejahtera. Namun, terlalu banyak aturan di negeri ini. Biaya hidup juga amat mahal. Makanya terasa mengekang dan membosankan.
Tapi, aku nyatakan sejak awal, pendapat ini amat umum karena hanya berdasar pada obrolan santai. Juga mengandalkan pengamatan selama tiga hari di sana.
Kalau di tempat lain laki-laki yang memegang kendali dalam tradisi, maka tidak demikian di Lamongan.
Kuatnya posisi perempuan di Lamongan ini mengingatkanku lagi ketika aku pulang kampung pekan lalu. Selain untuk liburan juga sekalian meramaikan pernikahan sepupuku. Pernikahan sepupuku dengan laki-laki dari Betawi ini justru diadakan di rumah mempelai perempuan.