Bentrok antarpreman terjadi kembali di Bali.
Pemicunya, menurut berita-berita di media massa, bermula dari Penjara Kerobokan, Kamis siang kemarin. Dua kelompok preman di sana berkelahi di dalam penjara.
Satu orang mati di penjara. Satu lainnya mati ketika di rumah sakit.
Dari penjara Kerobokan, bentrokan meluas ke Denpasar. Dua preman lain mati dikeroyok. Mereka dari kelompok sama dengan korban tewas di penjara.
Kabar bentrokan meluas. Tak hanya di media lokal dan nasional tapi juga di media-media internasional. Bersamaan dengan itu, muncul pula gerutuan, Bali tak lagi aman, orang Bali sudah berubah beringas, dan semacamnya.
Gerutuan-gerutuan semacam itu, menurut saya, justru lahir dari ketidaktahuan sejarah tentang Bali. Seolah-olah Bali benar-benar pulau damai serasa surga. Padahal pandangan-pandangan itu hanyalah hasil propaganda dan pencitraan demi pariwisata.
Memang benar secara umum Bali termasuk wilayah yang damai. Pulau ini eksotis alam maupun budayanya. Namun, Bali juga memiliki sejarah kekerasan yang panjang.
Ada dua buku yang bisa menjelaskan dengan baik sejarah kelam kekerasan di Bali ini, yaitu Bali Benteng Terbuka karya Henk Schulte Nordholt dan Sisi Gelap Pulau Dewata karya Geoffrey Robinson.
Pada zaman kolonial, bentrokan antar-kerajaan menjadi hal biasa. Misalnya Kerajaan Mengwi menyerbu Kerajaan Tabanan.
Sejarah kekerasan paling besar terjadi pada 1965-1966. Menurut catatan beberapa sumber, korban pembunuhan besar-besaran hingga mencapai 80 ribuan. Ironisnya, pelaku dan korban pembantaian itu kadang-kadang sesama saudara sendiri.
Pada 1999, Bali juga pernah meradang. Ketika itu saya sudah tinggal di Denpasar. Jadi, saya bisa merasakan sendiri bagaimana kekerasan itu muncul dan meluas terutama di dua kota, Denpasar dan Singaraja.
Di luar itu, kekerasan terbuka juga selalu terjadi. Pelaku dan motivasinya beragam. Ada sesama saudara karena rebutan warisan. Ada sesama warga adat karena rebutan kuburan. Ada pula sesama tetangga karena beda aliran politik.
Tak cuma konflik terbuka, konflik diam-diam pun banyak juga. Bedanya, jika konflik terbuka bisa terlihat bahkan sampai di media, maka konflik diam-diam ini ya dipendam dan mungkin bisa meledak jika ada pemicunya.
Menurut saya, konflik antar-preman di Bali semacam puncak gunung es. Di bawahnya, banyak terdapat konflik lain yang tidak boleh ditunjukkan atas nama harmoni dan citra.
Jadi, tidak usah berlebihan jadi korban pencitraan Bali. Biar tidak gumun jika kekerasan kembali terjadi di pulau ini.
Leave a Reply