Perempuan paruh baya itu meletakkan sebatang lilin.
Suasana masih amat gelap di Paris, 11 Desember 2015, pagi itu. Musim dingin membuat kota masih gelap dan sepi meskipun sudah pukul 6 pagi. Sunyi.
Di antara remang cahaya dari lampu-lampu jalan, perempuan dengan jaket tebal, rok panjang, dan penutup setengah kepala itu menyalakan lilinnya. Dia meletakkannya di emper restoran.
Bunga-bunga. Lilin. Kartu ucapan duka cita. Doa. Harapan. Pengumuman. Semua berserakan di beranda restoran dan bar tersebut.
Namun, pesan paling jelas adalah pecahan kaca di dinding, jendela dan pintu. Bekas tembakan masih terlihat. Meretakkan kaca. Meninggalkan duka.
Tragedi datang sebulan sebelumnya, tepatnya 14 November 2015. Serangan secara bersamaan oleh kelompok militan ISIS terjadi di enam tempat di Paris. Ada 130 orang tak berdosa tewas. 368 lainnya luka-luka.
Bar dan restoran di perempatan Rue Alibert dan Rue Bichat itu termasuk di antaranya. Posisi keduanya, restoran Le Petit Cambodge dan bar Le Carillon, berhadapan terpisah satu ruas jalan.
Pagi itu, sebulan setelah serangan, ucapan duka cita masih bertebaran. Begitu pula di depan restoran dan bar tersebut.
Agung Parameswara, teman fotografer, sedang membuat dokumenter Paris After Attack. Tentang bagaimana lokasi-lokasi serangan setelah satu bulan berselang. Pagi itu aku menemani dia ke lokasi di Le Petit Cambodge dan Le Carillon.
Di sanalah aku melihat perempuan paruh baya itu menyalakan lilin.
Dengan agak canggung karena takut mengganggu, aku mendekatinya. Samar-samar aku lihat dia tersenyum. Lalu, kami pun mengobrol sekitar 15 menit.
Dia mengaku selalu melewati lokasi di Paris bagian timur tersebut. Tiap pagi, setelah kejadian itu, dia masih merasa atmosfer kematian yang menyeruak. Juga ada duka cita yang terus muncul.
Maka, dia selalu menyempatkan diri untuk singgah di depan salah satu dari dua restoran dan bar tersebut. Lalu, seperti pagi itu, dia menyalakan lilin dan diam meski sekejap.
“Untuk menenangkan diri sekaligus mengirim harapan agar dunia lebih baik setelah ini,” katanya.
Dia tak mau bercerita banyak tentang kejadian malam itu. Bagi dia, itu hanya salah satu bagian kelam dalam perjalanan sejarah Paris, tempat dia tinggal. Perempuan yang tidak mau menyebut nama itu justru lebih banyak berbagi harapan.
Dia tidak mau menyalahkan mereka, para teroris berkedok Islam. Tidak juga pada para imigran. Dia justru lebih banyak berbicara tentang konteks global, perdagangan gelap senjata, ketidakadilan, dan hal-hal yang aku sendiri justru tak pernah pikirkan.
Perempuan itu mengajarkan bagaimana teror dan kebencian tidak harus dibalas dengan tindakan sama tapi dengan cara sebaliknya, dengan menebar lebih banyak harapan dan cinta.
Leave a Reply