Kalau Saja Aku Kenal Blodog Lebih Dalam

19 , , , , Permalink 0

Sekitar sepuluh hari lalu aku tertawa dalam hati ketika melihat tayangan TV One soal ikan blodog. Dalam acara 1001 Dunia itu disebut bahwa ikan bernama bahasa Inggris mudskipper itu merupakan salah satu ikan langka di dunia. Sebab blodog hidupnya lebih banyak di darat. Berbeda dengan ikan lain yang hidupnya di dalam air.

Menurut acara yang dipandu Nugie itu, ikan bernama latin Periophthalmus modestus ini adanya di Nikaragua dan satu negara lagi yang aku lupa namanya. Kalimat inilah yang bikin aku ketawa sendiri.

Ngapain jauh-jauh mengambil contoh. Ikan blodog, gelodok, belodog, timpakul, dan mungkin masih banyak sebutan lain baginya, adalah ikan yang sangat banyak di sungai kecil di kampungku di Mencorek, Brondong, pesisir utara Lamongan Jawa Timur.

Sungai kecil di kampungku adalah sungai luapan dari laut utara Jawa. Kalau laut pasang, air di sungai juga penuh. Sebaliknya, kalau air laut surut, air di sungai payau itu pun surut. Saat sungai hanya penuh lumpur itulah, ikan mblodog –kami menyebutnya dengan tambahan “m” sebelum “b”, khas lidah Jawa- akan keluar.

Saat itu, kami sama sekali tidak tahu bahwa ikan mblodog ini termasuk langka hanya karena hidupnya lebih banyak di darat, bukan di dalam air. Aku baru tahu ya justru gara-gara TV itu tadi. Makanya ketawa sendiri dalam hati. Ah, ternyata kami tidak menyadari potensi yang selama ini kami miliki. Blodog, yang bagi kami adalah ikan ecek-ecek banget itu ternyata masuk ikan langka.

Lalu perjalananku ke Salatiga, Jawa Tengah Kamis lalu membuatku teringat kembali soal ikan mblodog.

Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) di Kalibening, di pinggiran Salatiga adalah salah satu tempat yang kami kunjungi selama di Jogja pekan lalu. Aku dan tiga teman lain, juga Bani dan Bunda, ngobrol dengan Baharuddin, penggagas sekolah ini. Kami juga ngobrol dengan beberapa murid di sini.

Meskipun jadi tempat pendidikan, QT jauh dari kesan sebuah sekolah. Selain gedung tanpa bangku dan meja, sistemnya pun berbeda dengan sekolah lainnya. Murid bebas belajar di mana saja. Lesehan di ruangan. Duduk di kursi depan kelas. Di depan rumah warga. Di mana saja mereka mau.

Tidak perlu seragam. Ada yang pakai jilbab. Ada pula cewek yang berkaos oblong dan celana pendek. Santai banget.

Di sini tidak ada guru. Hanya pendamping. Materi belajar bukan berdasarkan kurikulum nasional. Muridlah yang menentukan sendiri mereka mau belajar apa. “Kami ya belajar karena kami ingin tahu, bukan karena disuruh orang lain,” kata salah satu murid di sini.

Karena berdasarkan kebutuhan itu, maka semua murid mengerti apa yang mereka pelajari. Termasuk hal-hal “remeh temeh” di lingkungan terdekat mereka. Tetangga, desa, dan semua yang memang ada dalam kehidupan mereka. “Kami belajar tentang kehidupan, bukan belajar pengetahuan,” kata Baharuddin, yang menemui kami sambil lesehan di ruang lembap rumahnya.

Hasilnya, murid-murid di sini punya kepercayaan diri luar biasa. Mereka paham dan mengerti lingkungan mereka. Baharuddin dengan bangga memperlihatkan hasil kerja murid berupa peta potensi desa dalam bentuk peta tiga dimensi. Aku yang sudah lulus kuliah dan akrab dengan komputer pun bahkan tidak tahu peta itu dibuat pakai program apa.

Anak-anak umur belasan tahun di kampung yang dididik dalam kebebasan itu ternyata punya kapasitas jauh melebihi anak-anak seumurnya.

Kerennya lagi, peta maya desa itu bahkan siap diupload ke Google Earth. Weleh, weleh. Pakai Google Earth saja aku masih tulalit, lha kok anak-anak itu malah sudah bisa ikut menyumbang peta untuk situs tersebut.

Aku hanya mikir. Seandainya zaman sekolah dulu aku sudah diajarkan tentang blodog dan bagaimana memanfaatkan pengetahuan soal ikan itu, mungkin TV One tidak perlu jauh-jauh cari contoh. Cukuplah mereka datang ke kampungku, lihat sungai di sana, dan menyeberaluaskan informasi soal ikan blodog itu lewat media.

Gunanya untuk kebanggaan. Bahwa desa kami punya sesuatu yang berbeda. Bahwa ada potensi yang bisa dikembangkan. Bahwa desa pun bisa menghasilkan sesuatu. Bahwa pengetahuan bisa sumber daya untuk memajukan kampung kami yang sampai sekarang masih saja rajin ngirim tenaga kerja ke Malaysia, juga kaum urban ke kota, termasuk aku.

Masalahnya, pengetahuan tentang apa yang kami punya itulah yang selama ini kami belum punya. Kami tidak sadar bahwa pengetahuan itu bisa jadi potensi. Ketika di sekolah, kami hanya belajar tentang banyak hal yang sebenarnya kami tidak pernah temui.

Kalau saja waktu itu aku tahu lebih banyak soal blodog, bisa jadi ikan ini akan dikembangkan sebagai potensi ekonomi. Aku cek di internet, ikan ini laris manis di Jepang dan Cina.

Kalau saja aku dan orang-orang di desaku tahu sejak dulu, bisa jadi desaku akan jadi produsen ikan blodog ini. Jadi orang-orang di desaku tidak perlu pergi jauh-jauh ke Malaysia untuk jadi TKI. Cukup beternak ikan blodog dan menjualnya ke mana-mana.

Maka, aku hanya bisa meneteskan air liur antara iri dan kebelet pengen niru ketika ngobrol dengan Sukarman, petani di Kulon Progo, Yogyakarta. Pak Karman, panggilan akrabnya, adalah salah satu tempat belajar kami ketika di Jogja pekan ini. Sebab, dia bisa mengubah tanah berpasir di desanya bisa jadi sumber ekonomi yang luar biasa.

Pengetahuan yang dia punya berawal dari coba-coba. Capek merantau ke Jakarta, Bandung, dan Palembang dia balik ke kampungnya di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo. Desa di tepi pantai selatan laut Jawa ini sangat tidak produktif. Lahannya berpasir. Ratusan hektar lahan di sana hanya berisi tanaman liar seperti widuri dan kerandang.

Lalu sebatang tanaman cabe yang tumbuh di antara tanaman liar itu membuka pikiran Pak Karman. “Kalau tanaman cabe bisa tumbuh di lahan liar, tentu dia juga bisa tumbuh kalau dipelihara,” katanya.

Dengan pengetahuan dan caranya sendiri, Pak Karman lalu membuka sekitar 300 meter persegi lahan berpasir di sana. Dia menanam cabe seperti yang dia temui. Untungnya juga air di sana tidak terlalu susah. Pak Karman membuat sumur renteng untuk mengairi tanaman cabe itu. Air dari sumur utama dialirkan ke sumur-sumur lain. Bahasa ilmiahnya, ini pakai teori thermodinamika.

Tapi Pak Karman, tidak pernah belajar soal itu secara resmi. Dia belajar dari kehidupan sehari-hari. Air dari sumur renteng itulah yang membuatnya bisa mengembangkan cabe di atas lahan pasir. Pak Karman mengubah kondisi lahan pasir yang semula dianggap mustahil menghasilkan itu jadi tanah produktif yang menghasilkan potensi ekonomi ratusan juta tiap harinya.

Saat ini, sekitar 250 petani di sana mengikuti caranya. Dari 300 meter persegi, saat ini ada 1.150 hektar lahan pasir yang bisa menghasilkan cabe, semangka, sayur sawi, dan tanaman-tanaman lain. Sekadar contoh, rata-rata tiap hari petani setempat menghasilkan 60 ton semangka yang dijual Rp 10 ribu per kilogram. Artinya ada Rp 600 juta uang yang berputar di desa itu tiap hari.

Wadepak! 600 juta per hari? Yap, lebih dari setengah milyar per hari di desa itu.

Inilah ternyata potensi-potensi yang selama ini belum kita gali. Pengetahuan tentang blodog, pengetahuan tentang cabe di lahan berpasir, pengetahuan tentang desa sendiri itu yang selama ini sudah dilupakan.

Padahal kalau ini dipelajari dengan benar lalu digabungkan dengan teknologi, seperti anak-anak di Salatiga atau Pak Karman di Kulon Progo, pengetahuan soal desa sendiri itu ternyata bisa menghasilkan potensi ekonomi yang luar biasa.

Lalu, aku melanjutkan tidur. Kembali bermimpi suatu saat balik ke desa. Yap, hanya bisa bermimpi. Sampai detik ini..

19 Comments
  • Dek Didi
    June 30, 2008

    Liputannya panjang nok. Tapi asik .

  • okanegara
    June 30, 2008

    wah kerenn…terutama tentang sekolah alternatif.mau nih bikin yang seperti ini…ayo mas anton, lode, cmon kita bentuk jaringan..

  • made eka
    June 30, 2008

    wah keren banget sekolahnya…
    eh bukannya petani tersebut mau digusur, karena lahannya mengandung bijih besi. Lahan tersebut katanya punya keraton. Saat ini keraton sudah teken kontrak dengan perusahaan besi dari Australia untuk melakukan penambangan besi di sana..Para petanipun harus minggir.. Kok liputan tentang penggusurannya ga ada bli??

  • ick
    June 30, 2008

    setuju dengan pak dokter, ayo kita bikin sekolahan kayak gitu di bali, manfaatnya banyak.

    *bli anton dari lamongan yah? tetanggaan ma amrozy? 😆

  • mohammad
    June 30, 2008

    sekolahnya keren

    naman ikannya juga keren, mirip nama blog, mislnya blog dog atau malah dogblog, hehehe…

  • ghozan
    June 30, 2008

    wah keren banget bisa dapat 600 juta sehari… berarti gak usah kuliah susah2 pak… cukup dengan keteguhan hati dan kerja keras jerih payah kita akan bernilai tinggi…

  • imcw
    June 30, 2008

    Perjalanan seperti ini bagusnya dimasukan ke Intisari. 🙂

  • Rita
    July 1, 2008

    Sebuah motivasi bisnis yang bagus..
    Berarti yg kita perlukan, upaya menemukan potensi diri dan bisnis….(terutama yg punya bakat dibidang ini) 😀

  • yainal
    July 1, 2008

    oala.. jebule teko mbrondong toh…

    sayang kesasarnya lewat bc baru2 ini aja.. coba kalo dr kemaren, bisa ke bugel bareng kita.. 🙂

    *salam kenal balik..

  • wira
    July 1, 2008

    tapi, kalau, seandainya, jika, bila… aaah!

  • Tumik
    July 1, 2008

    Kok jadi terharu baca tulisan ini. Inget kampung kita yang sebenarnya kaya potensi. Aku yakin, mereka tetap setia menunggu kita..
    Hanya, sampai kapan? Masa jauh-jauh kuliah akhirnya balik ke kampung?? Yah, seandainya audisi idol, mungkin kita ini sudah tereliminasi..

  • erickningrat
    July 1, 2008

    konsep LEARING BY DOING yang keren. semangat2 seperti ini yang patut di tiru. mengembangkan ekonomi yang kreatip, tampa harus mengorbankan ekosistem yang ada.
    eh om [ oot ] dikit :mrgreen: katanya minyak bumi yang terbentuk selama 60 juta tahun akan habis dalam waktu 150 tahun saja weleh weleh weleh…..

  • erickningrat
    July 1, 2008

    LEARNING BY DOING maksudnya om :mrgreen:

  • ekads
    July 1, 2008

    wah mantap banget sekolahnya….
    seakan-akan saya ngerasa deja vu.
    sekoalhnya sama persis banget dengan cerita di novel Toto Chan Gadis Kecil di Jendela
    pengarangnya saya lupa 😀
    bli anton, klo nanti ada yang berminat buat sekolah kayak gini di Bali saya pengen ikut jadi volunteer-nya…

  • budarsa
    July 1, 2008

    menjadi kreatif adalah segalanya…

  • Gelandangan
    July 3, 2008

    ikan langkah yah tuh mas tapi dimakasaar enggak tau disebut apa * mungkin tempolok yah wkwkwkwkwkkwkwkw

  • accang
    July 5, 2008

    laporan jurnalistik yang sangat menarik. Panjang dan enak.
    Sisi kehidupan yang ternyata tidak seremeh lokasinya memberi pelajaran hidup yang luar biasa. Salut pak.

  • antonemus
    July 7, 2008

    @ dek didi: itu bukan liputan, tp tulisan utk blog. 🙂

    @ okanegara: ayo, dok. kalau mau pasti bisa. 😀

    @ made eka: bener, ka. katanya petani di sana mau digusur sama pakualaman. petani di sana mmg tidak punya hak milik atas tanah itu. sebab tanah itu mmg punya pakualaman. skrg petani di sana mau digusur krn pasir di sana mau dikeruk utk investor aussie. itu dah jeleknya. sudah petani brbuat yg baik, eh, dikalahkan sama investor. smp skr mereka masih berjuang agar tidak dgusur. smg saja mrk menang.

    @ ick: ayo kita bikin sekolah online saja. 😀 ya, bli. aku dari lamongan. satu kampung sama amrozi. tp beda kelakuan kok. 😀

    @ mohammad: atau mungkin namanya blogodog?

    @ ghozan: bener, bli. ga perlu repot2 cari adsense. krn udah kaya. 😀

    @ imcw: ide yg menarik. patut dicoba. kalo ga, kanggoang di blog gen. 🙂

    @ rita: betul, bu.

    @ yainal: sesok2 aku kontak, cak. nek nok bali ojolali mampir. 🙂

    @ wira: aahnya pasti sambil merem melek. 😀

    @ tumik: nunggu koen balik nok corek. ndang cepet lulus.

    @ erick: bagaimana anak2 punk disuruh bertani saja. spt lagunya marjinal. iiinilah petaniku sayang.

    @ ekads: ayo, ka. kita bikin di peguyangan. tidak mustahil kok.

    @ gelandangan: di makassar namanya ikan bakar paottere. 😀

    @ acang: ditunggu laporannya dr makassar pak. 🙂

  • anton
    March 17, 2009

    Tulisannya keren . Tapi mbok tolong harga semangkanya itu lho…….10 ribu per kg ???? semangka juga harga pasar paling 2 ribu per kg jadi petani 1000-1500 laahhhhhh….. biar yang lain ngilernya nggak kebanyakan……….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *