Kebahagiaan itu Kita Tentukan Sendiri, tapi..

0 , Permalink 0
Bahagia itu sederhana, makan rame-rame di pantai hanya salah satunya. Foto: Anton Muhajir.

Akhir tahun lalu, BPS mengeluarkan data menarik.

Dalam siaran pers pada 27 Desember 2021 itu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI). Indeks tersebut dihasilkan dari survei tingkat kebahagiaan di seluruh provinsi di Indonesia.

Ada tiga dimensi untuk menentukan tingkat kebahagiaan: kepuasaan hidup, perasaan, dan makna hidup. Tiap dimensi kemudian diturunkan lagi dalam beberapa indikator. Kepuasan hidup, misalnya, terbagi dalam dua indikator utama, yaitu personal dan sosial.

Dalam indikator kepuasan hidup personal ada pendidikan dan keterampilan, pekerjaan atau kegiatan utama, pendapatan, kesehatan, dan rumah. Adapun kehidupan sosial mencakup keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, dan keamanan.

Untuk indikator perasaan atau afeksi, ada tiga indikator, yaitu senang atau gembira, tidak khawatir atau cemas, dan tidak tertekan.

Terakhir, dimensi makna hidup. Ada enam indikator yang diukur, yaitu penerimaan diri, tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, pengembangan diri, penguasaan lingkungan, dan kemandirian.

Detail pengukuran kebahagiaan itu bisa dilihat di tabel berikut:

DIMENSIINDIKATOR
Kepuasan HidupPersonal
Pendidikan dan keterampilan
Pekerjaan/kegiatan utama
Pendapatan
Kesehatan
Rumah dan fasilitas umum
Sosial
Keharmonisan keluarga
Ketersediaan waktu luang
Hubungan sosial
Keadaan lingkungan
Keamanan
Perasaan/AfeksiSenang/gembira
Tidak khawatir/cemas
Tidak tertekan
Makna HidupPenerimaan diri
Tujuan hidup
Hubungan positif dengan orang lain
Pengembangan diri
Penguasaan lingkungan
Kemandirian
Tabel indikator indeks kebahagiaan (BPS, 2021)

Sebagai informasi, definisi kebahagiaan versi BPS ini lebih mengacu pada kesejahteraan secara subjektif. Dia melengkapi kesejahteraan objektif yang lebih mengacu pada angka-angka statistik versi pemerintah. Karena subjektif, tentu saja tergantung dari persepsi dan perasaan responden.

Perihal hasil lengkap survei Indeks Kebahagiaan 2021, silakan baca langsung dalam laporan resmi BPS. Begitu pula analisis yang bertebaran di media massa.

Hal yang lebih menarik, menurutku, adalah bagaimana menjadikan hasil survei tersebut sebagai alat refleksi terhadap diri sendiri. Dengan becermin pada indikator BPS ini, kita jadi bisa melihat kira-kira sejauh mana sih indeks kebahagiaan kita. Dengan bercermin, kita bisa melihat wajah kita dari sudut pandang orang lain.

Bagaimanapun juga, sesekali, kita perlu melakukan refleksi tentang situasi kita sendiri dengan kaca mata umum semacam ini. Jadi, kita bisa melihat kira-kira kalau diangkakan, berapa sih tingkat kebahagiaan kita.

Karena itulah aku kemudian menghitung berapa sih nilai indeks kebahagiaanku. Dua kali penghitungan berbeda waktu dan tempat menghasilkan angka kurang lebih sama, 84,21. Angka itu di atas rata-rata nasional, 71,49. Lumayanlah, ya.

Penjelasannya sejalan dengan situasi umum. Survei BPS ini menunjukkan bahwa orang cenderung lebih bahagia ketika tinggal di kota, dibandingkan di desa; berpendidikan lebih tinggi; serta memiliki pendapatan lebih mapan. Klise, sih. Namun, itu menguatkan apa yang sudah jadi anggapan umum selama ini.

Namun, masih ada faktor-faktor lain yang menyumbang pada kebahagiaan seseorang. Dalam kasusku, nilai tertinggi yang aku masukkan adalah kemandirian, 95. Indikator-indikator lain masuk nilai rata-rata pribadi. Misalnya, pekerjaan, kesehatan, senang, dan pengembangan diri.

Bisa jadi ini hasil didikan sejak kecil sih. Dari dulu aku selalu diajarkan agar mengerjakan apa-apa secara mandiri. Kalau bisa mengerjakannya sendiri, ngapain sih harus ngrepotin orang lain?

Hasilnya terasa hingga saat ini. Di rumah, bahkan ambil sendok garpu atau lap makan pun sendiri. Bahkan, meskipun ada pekerja rumah tangga, nyuci piring juga ngerjain sendiri.

Kemandirian dalam urusan pekerjaan pun tak jauh berbeda. Lama memilih kerja sebagai jurnalis lepas (lebih dari 12 tahun!!) menunjukkan berarti memang bekerja pun secara mandiri. Saat ini juga kurang lebih sama, masih sering beresin laporan sendiri, nyiapin ini itu sendiri meskipun ada yang bisa disuruh.

Bagusnya hal semacam ini, jadi tidak tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan maupun bertanggung jawab terhadap sesuatu. Tak ada orang lain yang disalahkan karena itu sepenuhnya tanggung jawab kita.

Sisi buruknya, secara psikologis jadi sok tidak perlu orang lain bahkan untuk curhat atau berbagi hal-hal personal. Begitu pula urusan kerja dalam tim, jadi suka jalan sendiri tanpa koordinasi. Padahal, kalau mau kerja dalam tim ya harus mau terbuka dan membagi, tak hanya pekerjaan, tetapi juga perasaan.

Nah, bisa jadi karena terlalu mandiri ini, maka angka di bagian hubungan sosial menjadi nilai paling rendah yang aku masukkan, 75. Angka ini sama dengan dua indikator lain, yaitu rumah dan fasilitas umum serta tidak tertekan.

Aku pikir-pikir kemudian, kenapa ya bisa aku memasukkan nilai segitu.

Mungkin karena pada dasarnya aku kurang suka kumpul-kumpul banyak orang. Apalagi kalau dalam kerumunan massal, seperti nonton konser atau demo. Ada trauma.

Dua tahun terakhir, karena pandemi COVID-19, malah semakin mengurangi atau bahkan tidak sama sekali. Plus, dari sisi pekerjaan juga jarang sekali liputan. Padahal, asyiknya pekerjan sebagai wartawan adalah ketika bisa liputan, berbincang dengan orang-orang beragam latar belakang, cerita, dan pandangan.

Liputan dan belajar dari lapangan selalu menjadi kemewahan seorang wartawan.

Untuk rumah, mungkin karena secara fisik ada beberapa bagian yang kurang. Misalnya, tembok kamar utama yang mengelupas gara-gara dinding bagian belakang rumah tidak diplester pas membangun 17 tahun lalu atau pas memperbaiki sekitar 4 tahun lalu. Ada juga sebagian genteng rumah yang bocor. Mengganggu sekali pas hujan.

Plus, bagian lain, seperti taman, depan ataupun belakang, masih bisa dilengkapi dengan tanaman-tanaman hias dan obat.

Untuk fasilitas umum, heran juga kenapa aku ngasih angka 75. Harusnya lebih rendah sih ini. Apalagi kalau lihat di Denpasar, mulai dari lingkungan sekitar. Jalan raya buruk, banyak lubang, tanpa jalur pedestrian. Transportasi publik mati suri. Hanya tersedia di jalur utama.

Eh, sebentar. Sebenarnya transportasi publik ini sudah lumayan, sih. Lima tahun terakhir sudah ada bus umum, dari zaman Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan kemudian di zaman Wayan Koster meski berganti nama. Sayangnya, banyak warga termasuk aku yang suka cari-cari alasan untuk tidak menggunakannya.

Biasalah, penyakit manusia pada umumnya, lebih senang menyalahkan orang lain untuk menciptakan kebahagiaan. Hehehe..

Situasi itu juga sekaligus menunjukkan, kebahagiaan kita juga ikut dipengaruhi orang lain: keluarga, teman, tetangga, lingkungan sekitar, kebijakan nasional, bahkan kondisi global. Semandiri apapun, kita tetap terpengaruh hal-hal lain di luar diri kita.

Meskipun demikian, pengaruh dari luar itu tetap bisa kita kendalikan sejauh mana dia akan menentukan kebahagiaan kita. Karena kalau aku lebih percaya, kita sendiri yang punya ukuran untuk menentukan kebahagiaan. Bukan orang lain. Meskipun hanya sebagai alat untuk membanding-bandingkan.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *