Untuk pertama kalinya Jumat (29/08) kemarin aku ikut ngobrol sambil nyeruput sup alias Soup Chat. Acaranya asik banget. Informal. Tapi isinya sangat serius, soal creative economy. Sayangnya tidak ada waktu khusus untuk saling mengenal. Jadi aku tidak bisa kenal satu per satu, kecuali dengan rombongan belogger Bali Blogger Community (BBC).
But, sebelum itu, aku tulis dulu soal Sup Chat. Obrolan santai kemarin sudah obrolan keduapuluh dari komunitas ini. Aku baca dari profil di situsnya, komunitas diskusi ini berawal dari kegelisahan kurangnya media untuk ngobrol di Denpasar. Aku kopas aja deh sebagian isinya.
Kami berangkat dari semangat berbagi dan keinginan untuk mengenal serta menghargai berbagai macam manusia dengan latar belakang cinta profesi/ hidup yang berbeda.
Tiap bulan komunitas ini membuat diskusi santai tersebut. Kali ini sudah yang keduapauluh. It’s mean, mereka sudah berjalan hampir dua tahgun. Aku harus angkat topi. Belajar dari pengalaman sendiri, tidak gampang membuat diskusi rutin tiap bulan begini.
Bagiku, komunitas ini bisa jadi referensi baru soal tempat berbagi ide. Sebab, menurutku, tempat semacam itu di Denpasar, atau malah Bali, memang kurang. Dibandingkan Jogja atau Bandung, Bali kurang memiliki tempat di mana kita bisa berdiskusi dengan intens. Kalau toh ada, biasanya untuk kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau mahasiswa yang bawaannya cenderung kekiri-kirian atau politis.
Maka, ketika aku baca undangan diskusi ini dari Kang Ayip dan juga melihat tema obrolan, aku dan Bunda –tentu saja Bani juga- berniat untuk datang. Sekalian memberi dukungan moral dan spiritual untuk Kang Ayip, tetua di BBC. Hehe..
Obrolan kemarin diadakan di Djendelo Cafe Renon, satu alamat dengan Suicide Glam milik Rudolf Dethu. Suicide Glam dan Dethu, bisalah aku sebut mewakili generasi kontemporer Bali. Sekitar 30 orang itu diskusi asik. Bir dan asap rokok menemani diskusi sekitar tiga jam itu. Sayang, aku tidak bisa ikut sampai akhir seperti Saylow, Gus Tulang, Sakti, dan Seno. Bani keburu nangis sampai muntah-muntah. Jadi kami pulang duluan.
Ada dua topik diskusi kemarin. Soal paragliding dan creative economy. Paragliding itu kegiatan terbang dengan parasut. Aku pernah sekali melakukannya di Bukit Timbis dekat Bali Cliff, tandem dengan Bodi, narasumber diskusi kemarin. –Tapi aku yakin Mas Bodi sudah lupa sama aku. Jadi aku cuek saja tidak menyapanya. Hehehe..
Tema kedua, creative economy yang menarikku untuk ikut diskusi kemarin. Maka aku ikut menyimaknya di sela momong Bani.
Kang Ayip menyajikan materi ini dengan keterbatasan, tanpa display. “Saya terbiasa ngomong dengan visual karena saya ini orang desain,” kurang lebih begitu Kang Ayip. Yowislah. Kanggoang pakai laptop di meja saja..
Sebatas yang aku ingat begini. Creative economy, kata Kang Ayip, adalah ekonomi masa depan setelah ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi. Pengertian ekonomi kreatif, kurang lebih, ekonomi yang menggunakan ide serta kreativitas sebagai sumber daya utamanya, aset. Kalau ekonomi pertanian ya berbasis pertanian. Ekonomi industri ya berbasis industri dan seterusnya.
Hal-hal yang masuk sebagai creative economy ini misalnya desain, publishing, musik, teater, fashion, dan seterusnya. Tulis menulis masuk di dalamnya.
Karena tulis menulis itu masuk di dalamnya, maka aku pun kegeeran. Merasa bahwa aku pun bisa masuk di dalam ekonomi kreatif tersebut. Artinya, dengan ide, gagasan, dan tentu saja kerja keras, aku bisa ikut mengembangkan potensi ini.
Ada beberapa ide untuk itu. Sebenarnya sudah ide lama tapi tidak terwujud juga. Satu soal sindikasi. Dua soal kaos kampanye.
Sindikasi itu akan jual beli tulisan, seperti yang selama ini sudah aku lakukan. Cuma akan lebih rapi dan disiplin. Selama ini Bali terlalu banyak diulas media dari sisi budaya, pariwisata, termasuk semua masalahnya. Tapi yang menulis biasanya jauh-jauh datang dari kota, pulau, atau bahkan negara lain untuk menulis itu. Kenapa tidak misalnya aku dan beberapa wartawan di Bali yang membuat lalu menawarkannya ke media-media itu.
Di Indonesia sudah ada. Antara lain Pena Indonesia dan Pantau, meski nama terakhir sedang menghadapi masalah internal. Namun di Bali belum ada. Jadi menurutku ini akan jadi prospek bagus kalau dikerjakan serius. Aku yakin kalau digarap serius, sindikasi di Bali akan jadi sumber tulisan di Bali. Beberapa teman sudah menyambut antusias dengan ide ini. Sayangnya aku sendiri masih belum bisa lebih serius mengurus. Biasanya karena sok sibuk.
Lalu soal kaos kampanye. Ini juga ide lama. Untuk jual kaos online dengan tema-tema agak kritis. Boleh lah narsis dikit. Banyak orang tertarik dengan kaos-kaos kampanye yang aku pakai. Misalnya Adil Sejak dalam Pikiran dengan gambar Pramoedya produksi Ego Tshirt atau United Color of Collonialism produksi Mitra Bali. Hobiku pake kaos bertema kampanye itu, menurutku, bisa dijadikan bisnis.
Rencananya aku bikin jual beli kaos online dengan tema-tema yang aku buat sendiri tapi didesain teman yang jago desain. Sayangnya, ide ini juga belum jalan. Padahal aku sudah punya stok ide, desain, dan bahkan kapling domain di sinteshirt. Kendala terakhir sih karena modalnya keburu pakai renovasi rumah, yang bahkan sampai utang. Hehe..
Selain kendala teknis, seperti waktu dan modal, hal paling penting memang soal mental. Rasanya mentalitasku memang bukan pengusaha atau setidaknya orang yang dengan yakinnya bisa menjual segala sesuatu, termasuk ide. Padahal, nyatanya toh aku sudah hidup dengan cara jual menjual ide itu.
Kadang-kadang aku merasa masih ada tembok besar yang menghalangiku untuk jadi “penjual” sungguhan. Makanya lebih sering malu-malu, lalu senang bukan kepalang ketika tawaran itu ternyata diterima. Pikiran yang lebih sering nongol tuh begini, “Kalau aku bisa memberikannya gratis dan tidak rugi, kenapa sih orang harus beli?”
Juga, paling parah, “Apa iya semua hal harus kita nilai dari uang?”. Padahal jelas-jelas aku juga senang bukan kepalang kalau sudah banyak uang..
Pakai kata-kata belog ajum sedikit, aku tuh lebih nyaman berhubungan dengan seseorang dengan motif humanis daripada bisnis. Nah, susahnya ya mengubah diri jadi pebisnis itu. Sampai sekarang aku masih belum bisa meruntuhkan tembok besar ini.
Tapi, lagi-lagi, apa iya tembok itu harus diruntuhkan? Atau, apa benar itu sebuah tembok?
Oya, poto nyolong dari blognya Satria Kutilan sedang Kasmaran.
August 30, 2008
mungkin itulah yg disebut talenta
atau semacam insting
tidak semua orang pny insting bisnis
dan bahkan wartawan sendiri
yg sudah terlatih menulis berita
banyak jg tak trll piawai menulis
artikel atau cerita bersambung
so, kl mmng seorang humanis
tak prl lah memaksakan diri menjd pebisnis
August 31, 2008
sama…
August 31, 2008
mungkin kita bisa berpikir tdk hanya pada bisnis bli … let say kita membangun bisnis lalu menyumbangkan sebagian dari keuntungan kita untuk kegiatan yang bermanfaat, entah sosial ataupun yg lainnya
Pada suatu saat kebutuhan jasmani memang tdk bs dihindarkan tetapi berkontribusi terhadap lingkungan sekitar juga tdk boleh dilupakan 😀
Semoga bisa membantu … BTW kapan ya kita punya kesempatan bertemu 😀
September 1, 2008
hmmmm….. kalo sudah “humanis” , ketika akan bergelut di bisnis akan terasa kaku….
selamat menunaikan ibadah puasa om
September 2, 2008
@ mikekono: pengennya sih tetep (sok) humanis. cuma kadang2 memang tidak kuat menahan godaan uang. 😀
@ didi: apanya?
@ didut: mmm, bener juga sih. maunya begitu. tp ya mmg selalu jd dilema antara sisi bisnis, di mana keuntungan adalah segalanya, dg sisi humanis, di mana berkorban yg utama.
@ erickningrat: sepertinya sih begitu. thx soal puasanya..
September 3, 2008
Sejak Kapan Bli Bani punya toko bangunan, Om ?
September 3, 2008
@ sejak tadi pagi. hihihi..
September 23, 2008
Tidak ada yang salah dengan istilah “humanis” namun kata “bisnis” menurut saya kata yang lebih tepat itu sebutannya jiwa kewirausahaan. Ada perbedaan signifikan terutama jika melihat kata itu dalam bahasa Inggris “entrepreneurship”. Menurut saya setiap insan (apakah yang humanis ataupun bukan) penting memiliki jiwa kewirausahaan dimana praktiknya akan menjadikan perimbangan yang baik. Menurut saya tidak harus mengorbankan apakah harus lebih humanis atau lebih bisnis. Yuk… kita nyantai ngomong topik asyik ini di warung…