Teror melanda Jakarta kemarin siang.
Pelaku dan motifnya belum jelas. Namun, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sudah mengklaim sebagai pelaku pengeboman dan penembakan di Jalan Sarinah, Jakarta itu.
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
Pertanyaan sama selalu muncul di kepalaku ketika melihat tersangka, ingat ini baru tersangka, teroris ditembak mati oleh polisi. “Kenapa sih mereka harus ditembak mati?”. Meski sebenarnya tidak setuju dengan hukuman mati, aku bisa memaklumi ketika yang ditembak mati adalah Amrozi CS atau siapapun yang terbukti di pengadilan memang bersalah.
Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang status hukumnya belum jelas tapi sudah ditembak mati? Mereka ini baru disangka sebagai teroris. Belum jelas apa kesalahannya. Belum jelas kejahatan macam apa yang mereka lakukan. Belum jelas apa perannya. Lalu, polisi sudah menembak mereka. Mati.
Bulan Oktober selalu mengingatkanku pada Daniel Braden, pemuda asal London, Inggris. Kami tidak pernah bertemu secara fisik. Aku hanya membaca namanya di monumen Bom Bali di jalan Legian Kuta. Braden adalah salah satu dari 202 korban peledakan bom di Bali pada 12 Oktober 2002 lalu.
Namun kematian Braden melahirkan semangat baru bagi pacarnya, Jun Hirst, tentang perlunya membuat dialog lintas budaya antar-remaja. Menurut Jun, yang juga lahir dari keragaman Jepang – Inggris, peledakan bom di Kuta lahir dari fanatisme pada identitas diri dan kebencian pada identitas orang lain.
Persis seminggu setelah ledakan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton, aku mendapat email berisi Surat Terbuka ini.
Aku tidak pernah mendengar nama pemimpin dan lembaga yang mengeluarkan Surat Terbuka ini sebelumnya. Tapi tidak masalah. Toh kata Ali bin Abi Thalib, dengarkanlah perkataannya, bukan lihat siapa yang bersuara. Aku haqqul yakin sepakat dengan isi surat ini. Islam sering kali dibajak untuk membenarkan tindak kekerasan, termasuk oleh para teroris. Parahnya lagi banyak yang malah bersimpati pada para pembajak itu ketika agama ini dicemarkan. Maka, kaum moderat harus bersuara.
Pemuatan Surat Terbuka ini merupakan dukungan terhadap suara-suara moderat di negeri ini.
Inilah menu makan siangku hari ini: sup kepala ikan dan ikan goreng. Makannya di warung langganan, Warung Lembongan di jalan Tjok Agung Tresna Renon Denpasar. Ikan laut itu digoreng garing. Supnya, selain kepala ikan juga ada sayur ketimun diiris tipis.
Karena sudah ngidam dari kemarin, aku pun nyeruput sup kepala ikan itu dengan nikmatnya. Posisiku menghadap ke arah TV yang menayangkan berita siang. Pokoke makan siang ini enak tenanlah. Eeh, pas lagi asik nyeruput sup kepala ikan, di TV nongol potongan kepala orang yang diduga sebagai pelaku teror bom di Ritz Carlton dan JW Mariott Jumat pekan lalu.
Tulisan ini aku buat ketika baru usai chatting sama Erwin, teman yang bekerja sebagai kameraman untuk salah satu TV Australia. Erwin sedang meliput di Tenggulun, Lamongan terkait rencana eksekusi Amrozi CS.
Desa berjarak sekitar 15 km dari rumahku di Lamongan itu tempat lahir tiga bersaudara terpidana kasus bom Bali 2002: Amrozi, Ali Ghufron, dan Ali Imron. Amrozi dan Ali Ghufron bersama terpidana lain, Imam Samudra, dipidana mati. Ketiganya akan segera dieksekusi. Maka, para wartawan pun berburu berita ke desa nan gersang itu. Erwin satu di antaranya.
Majelis hakim sidang bom Bali memutuskan vonis hukuman mati pada Amrozi. Meski Amrozi tidak ingin, pengacaranya akan banding.
Ketika Ketua Majelis Hakim I Made Karna SH membacakan vonis hukuman mati terhadapnya, Amrozi seketika bereaksi dengan membaca takbir. Dua kali terdakwa asal Lamongan, Jawa Timur itu mengepalkan tangan ke arah pengacaranya. Setelah itu dia merentangkan kedua tangannya ke samping. Ibu jarinya terlihat menunjuk ke atas. Ekspresi wajahnya tetap tersenyum.
Sekitar 200 pengunjung sidang di Gedung Wanita Nari Graha Renon Denpasar bersorak gembira atas pembacaan vonis mati tersebut. Amrozi kemudian menoleh ke arah pengunjung sambil mengucapkan takbir dua kali. Pengunjung membalasnya dengan sorakan, “huuu..”. Tidak ada yang berubah dari ekspresi Amrozi.