Kini, kenangan tentang Makassar tak lagi seindah kenyataan.
Kunjungan pertama ke Makassar, sekitar 2002, meninggalkan ingatan kuat dan menyenangkan tentang kota ini, terutama di sisi barat sekaligus ikonnya, Pantai Losari.Surga Kuliner Bernama Makassar
Di balik kesan sangarnya, Makassar sebenarnya sangat ramah. Apalagi kulinernya.
Tiap menyebut nama Makassar, maka yang langsung menclok di kepalaku adalah bentrokan antara mahasiswa dan polisi. Media ikut serta menanamkan kesan itu meski mereka juga tak bisa sepenuhnya disalahkan. Tak ada asap tanpa api.
Riuh Guyub Malam Minggu Makassar
Malam minggu di Makassar mengenalkan ramahnya wajah kota yang identik dengan kekerasan ini.
Keriuhan Makassar itu bermula dari Pantai Losari. Dengan tulisan PANTAI LOSARI di tepi pantai, tempat ini menjadi salah satu land mark kota. Beda dengan Denpasar yang, bagiku, tak cukup mengenalkan land marknya, Makassar lebih gesit mengenalkan penanda kota ini.
Pak Walikota, Buatlah Tempat Nongkrong di Denpasar
Rizal Hakam, sopir taksi yang mengantar saya ke sini menyebut tempat ini kawasan jalan Udayana. Begitu pula dengan pedagang kaki lima yang saya ajak ngobrol malam itu. Jadi memang tidak ada nama khusus untuk menyebut lokasi ini. Saya sebut saja tempat ini pusat lesehan Udayana. Agak unik saja sih. Udayana tapi ada di Mataram. 🙂
Tinggal Pilih: Konro, Sup Saudara, atau Ikan Mas
Sop konro, tentu saja berupa sup. Dagingnya pakai iga sapi dipotong kurang lebih sepanjang HP gitu deh. Ada tiga potong dalam tiap porsinya. Kuah sup ini mirip rawon dengan bumbu cengkeh dan kayu manis yang sangat terasa. Makanya warna supnya agak coklat gitu.