Losari yang Kian Jauh dari Ingatan

0 , , Permalink 0

Kini, kenangan tentang Makassar tak lagi seindah kenyataan.

Kunjungan pertama ke Makassar, sekitar 2002, meninggalkan ingatan kuat dan menyenangkan tentang kota ini, terutama di sisi barat sekaligus ikonnya, Pantai Losari.

Ketika itu aku mengikuti pelatihan advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Southeast Asia Press Alliance (SEAPA). Lokasinya di Hotel Quality, persis di depan pantai paling populer di Makassar tersebut.

Losari yang aku ingat adalah pantai sederhana dengan jalan beraspal langsung berbatasan dengan laut. Laut di Pantai Losari ketika itu lebih mirip teluk. Karena itu ombak tak terlalu besar. Relatif tenang.

Di laut yang tenang dan menjorok ke daratan itu, banyakpengunjung naik perahu kecil berbentuk bebek, terutama mereka pasangan atau keluarga. Ketika malam, kelap-kelip lampu bebek-bebekan ini menghadirkan romantisme tersendiri di antara gelapnya pantai.

Di sepanjang pantai, orang bebas duduk menghadap laut. Menikmati aroma dan suasana pantai ataupun jagung bakar dan saraba.

Di sisi agak selatan berderet-deret kedai makanan dan minuman beratap terpal. Pada saat malam, kedai-kedai kopi itu menjadi tempat berkumpulnya warga kota juga para pelintas yang sekadar lewat seperti aku.

Pantai Losari sangat menyenangkan dalam kesederhanaannya.

Setidaknya begitulah kenanganku tentang Makassar, terutama Pantai Losari. Sesuatu yang selalu membuatku ingin kembali ke kota ini. Losari menjadi daya tarik, seperti halnya nikmat ikan bakar Paottere, pedas konro bakar Karebossi, segar coto Makassar, dan hangat saraba.

Kenangan seperti itulah yang selalu berhasil menjaga keinginan untuk kembali datang ke Makassar.

Sayangnya, ingatan tentang Losari yang bersahaja itu kian memudar. Losari yang aku lihat ketika berkunjung ke sana, 11-12 Mei lalu, serupa pesolek ganjen yang tak menyadari pesona dalam kesederhanaannya. Wajahnya dioperasi plastik agar terlihat indah padahal justru merusaknya.

Aku sengaja ke sana saat Jumatan. Biar pernah sholat di masjid terapung Amirul Mukminin yang terlihat begitu indah di linimasa Instagram itu. Sebelum masuk masjid, aku foto dulu lalu mengunggahnya di status WhatsApp.

“Itu bukan pantai, tapi kubangan!” Eko Rusdianto, teman di Makassar sesama kontributor Mongabay, langsung membalas begitu. Memang begitulah adanya. Indah di foto tetapi jorok di kenyataan.

Laut yang dulu terbuka kini terkepung oleh lahan-lahan urukan baru. Air laut yang dulu bebas keluar kini terhalang pantai buatan di sisi barat. Akibatnya, air laut pun keruh dan bau. Sampah, terutama plastik, menumpuk karena aliran air seperti terhalang.

Tenda-tenda sederhana sudah lama digusur. Bebek-bebekan sudah lama hilang. Batas pantai dan jalan yang dulu jadi tempat duduk santai sudah lama ditimbun.

Reklamasi tidak mempercantik pantai tetapi justru merusak wajah Pantai Losari.

Kini yang ada adalah beton dan tulisan kaku besar-besar yang entah kenapa juga makin banyak ditiru kota-kota lain. Di seberang barat sana, terlihat pengurukan yang terus berjalan.

Ironisnya, semua pembangunan itu, bagiku, bukannya membuat Pantai Losari makin cantik tapi justru sebaliknya, berantakan dan hilang keindahannya. Bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati atau dikenang.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *