Kadang-kadang, aku membayangkan masa tua seperti ini.
Sebuah rumah di pinggir pantai berpasir putih. Jaraknya tak lebih dari seperlemparan batu dari rumah ke pantai. Tak apa sesekali angin kencang datang. Asal jangan sampai berupa badai.
Tak apa juga jika ombaknya mengamuk tinggi. Namun, cukuplah sekali dua kali. Yang penting aku masih bisa berenang di pantainya yang berpasir putih dan berair jernih. Tidak harus setiap hari juga, tetapi aku bisa nyebur kapan pun aku ingin.
Karena dekat dengan laut, maka setiap hari aku bisa menikmati ikan laut yang segar dan gurih. Bisa dimasak dengan sup pedas, dipanggang, atau cukup digoreng. Rasanya, aku bisa menikmati masa tua yang sempurna jika menemukan lokasi seperti itu.
Aku bayangkan berbagai tempat dengan pantai semacam itu. Amed di ujung timur Bali masuk daftar. Begitu pula Gunung Kidul, Yogyakarta; Banda Neira, Maluku; Sape, Nusa Tenggara Barat; dan tentu saja tanah kelahiran, pantai utara Lamongan, Jawa Timur.
Daftar tempat yang masuk imajinasi itu kemudian bertambah setelah aku berkunjung ke Pulau Bokori, Sulawesi Tenggara pekan lalu. Pulau ini memiliki semua syarat yang aku bayangkan: pasir putih, air jernih, ombak tenang, ikan segar, suasana sepi. Rasanya, aku bisa menghabiskan sisa umur dengan bahagia jika tinggal di tempat ini.
Pulau Bokori masuk daftar tujuan kami hanya sebagai pengganti. Mumpung di Sulawesi Tenggara, sebenarnya aku pengen banget bisa ke Wakatobi. Apa daya, perlu waktu setidaknya tiga hari untuk bisa ke kabupaten kepulauan ini. Padahal kami hanya punya waktu sehari setelah kegiatan di sini sebelum melanjutkan perjalanan untuk pekerjaan lain lagi.
Dari obrolan dengan teman-teman di Kendari, kami sepakat, ya sudah, mari kita jalan-jalan ke Pulau Bokori saja. Tempatnya relatif dekat dari Kendari. Waktu sehari pun sudah lebih dari cukup. Maka, kami pun menuju Pulau Bokori setelah kegiatan selesai.
Pulau Bokori berada di sisi timur laut Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Perjalanan ke Pulau Bokori dari Kendari dengan mobil sekitar 40 menit ke pelabuhan penyeberangan. Dalam perjalanan menuju pulau ini, kami mampir dulu ke pasar ikan. Pak Munir dan Riza, dua teman di Kendari, mengajak kami membeli ikan dulu. Ini memang aku yang agak memaksa. Biar bisa bakar ikan pas di Pulau Bokori. Hehehe..
Dari pelabuhan, perjalanan berlanjut dengan perahu sekitar 15 menit.
Ombak tenang. Air jernih. Pasir putih. Angin sepoi-sepoi. Enak benar suasana di Pulau Bokori ketika kami tiba di sini. Air juga sedang pasang. Cocok banget buat berenang.
Setelah menemukan salah satu tempat yang lebih tenang, jadilah kemudian, tanpa babibu, kami pun segera nyebur ke laut di sisi timur Pulau Bokori. Masuk ke dalam airnya yang ternyata agak dingin meski sudah sekitar pukul 11 WITA.
Pagi itu, air sedang pasang. Tingginya sekitar pinggang. Di bawah, arusnya terasa sekali menderu deras. Tidak terlalu nyaman buat berendam karena dia bisa menyeret tubuh pas lagi berenang atau mengapung.
Masalahnya lagi, ketika kaki menginjak pasir, kami harus ekstra hati-hati. Banyak sekali bulu babi di sini. Jika tak hati-hati, kami bisa menginjaknya. Padahal jarum bulu babi bisa bikin kaki bengkak jika tertusuk. Jadilah, kami berenang dan berendam dengan senantiasa waspada, melihat bulu babi yang berserakan.
Ketika kami asyik nyebur di pantai, Pak Munir dan petugas di pulau sibuk menyiapkan ikan bakar. Sayangnya kami lupa membawa peralatan memanggang layak selain ikan, bumbu, dan arang. Untung petugas di pulau ini punya sehingga kami bisa meminjamnya. Mereka juga bisa membantu memanggang ikan yang kami beli sebelumnya di pasar.
Maka, begitu selesai berendam dan berenang, ikan bakar segar pun siap sedia. Lengkap dengan sambal khasnya. Pas bangetlah waktunya, jam makan siang. Ikan jenis pelagis, kalau tak salah, sih, ikan layang, dan tongkol itu terlihat kecoklatan usai dipanggang. Dia disajikan dengan taburan sambal lokal olahan Pak Munir.
Biar lebih joss, kami menyantapnya di pinggir pantai. Bahkan sambil berendam. Meski tanpa nasi, rasanya tetap enak banget. Lembut dan gurih ikan panggang berpadu dengan pedas dan segarnya sambal. Plus, yang lebih joss lagi adalah suasananya. Pasir putih. Air jernih. Ombak tenang.
Ketika kami menyantap ikan panggang itu sambil berendam, sesekali perahu jukung kecil lewat di antara ombak yang begitu tenang dan latar belakang pulau lain di kejauhan. Rasanya damai sekali.
Saking enaknya menyantap ikan bakar, tanpa terasa, matahari juga membakar kulit kami tengah hari itu. Aku baru menyadarinya ketika kami beranjak meninggalkan Pulau Bokori. Dahi terasa panas sekali. Ternyata gara-gara berendam di tengah teriknya pulau ini. Tak apalah. Terbakar matahari sesekali. Lumayan buat kenang-kenangan setelah menikmati Pulau Bokori.
Leave a Reply