Mendengar “Ethiopia”, kepalaku langsung membayangkan kelaparan.
Nama negara itu aku dengar pertama kali dari Iwan Fals, penyanyi gaek yang terkenal dengan lirik-lirik kritisnya pada zaman Orde Baru. Dalam lagu berjudul “Ethiopia”, Iwan Fals mengantarkan kabar tentang kelaparan di negara tersebut.
Aku salin tempel saja lirik lagu Ethopia itu di sini.
Dengar rintihan berjuta kepala
Waktu lapar menggila
Hamparan manusia tunggu mati
Nyawa tak ada arti
Kering kerontang meradang entah sampai kapan
Datang tikam nurani
Selaksa doa penjuru dunia
Mengapa tak rubah bencana
Menjerit Afrika, mengerang Ethiopia
Ethiopia, Ethiopia ethiopia, Ethiopia
Ethiopia, Ethiopia ethiopia, Ethiopia
Derap langkah Sang Penggali Kubur
Angkat yang mati dengan kelingking
Parade murka bocah petaka
Tak akan lenyap, kian menggema
Nafas orang-orang di sana merobek telinga
Telanjangi kita
Lalat lalat berdansa cha-cha-cha
Berebut makan dengan mereka
Tangis bayi di tetek ibunya
Keringkan air mata dunia
Obrolan kita di meja makan
Tentang mereka yang kelaparan
Lihat sekarat di layar TV
Antar kita pergi ke alam mimpi
Ethiopia, Ethiopia ethiopia, Ethiopia
Ethiopia, Ethiopia ethiopia, Ethiopia
“Di sana terlihat ribuan burung nazar
Terbang di sisi iga-iga yang keluar
Jutaan orang memaki takdirnya
Jutaan orang mengutuk nasibnya
Jutaan orang marah
Jutaan orang tak bisa berbuat apa-apa”
“Setiap detik selalu saja ada yang merintih
Setiap menit selalu saja ada yang mengerang”
Ethiopia, Ethiopia ethiopia, Ethiopia
“Aku dengar jeritmu dari sini aku dengar
Aku dengar tangismu dari sini aku dengar
Namun aku hanya bisa mendengar
Aku hanya bisa sedih
Hitam kulitmu, sehitam nasibmu kawan”
“Waktu kita asik makan waktu kita asik minum
Mereka haus, mereka lapar
Mereka lapar, mereka lapar”
Tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Lagu “Ethiopia” telah mengantarkan imajinasi begitu kuat tentang orang-orang kelaparan, negara kekeringan, lalat-lalat beterbangan.. Maka, begitulah apa yang aku bayangkan tentang negara di sisi timur Benua Afrika ini.
Imaji itu masih tersimpan di kepala ketika aku mendarat di Bandara Internasiaonal Bole Addis Ababa pada akhir November 2022 lalu. Suasana di sekitar bandara terlihat kering. Lokasi bandara di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl ini seperti gurun.
Sepanjang perjalanan dari bandara menuju hotel di kawasan pusat kota, aku lihat juga jalanan berdebu. Warna kota dominan kelabu. Muram. Kusam. Kelaparan parah yang disenandungkan Iwan Fals sejak tahun 1986 seolah masih ada di negara ini.
Namun, imaji itu musnah ketika malam itu aku makan malam. Restoran di depan hotel kami menyajikan menu-menu khas Ethiopia. Salah satunya menu paling populer negara ini, injera.
Injera terbuat dari tepung. Bentuknya seperti crepes, tetapi teksturnya lebih lembut dan lunak. Ukuran injera ini lebih tebal dan lebar. Rasanya asam karena dia hasil fermentasi.
Sebagai makanan utama, injera ini dilengkapi dengan aneka lauk pauk. Ada sayur, seperti wortel dan paprika, serta daging kambing atau ayam. Bumbunya berupa kare, yang mirip bumbu rendang juga, tetapi lebih cair.
Nah, seporsi injera ini dua kali lipat porsi umumnya di Indonesia. Apalagi ukuran piringnya juga mengikuti. Maka, begitu melihat seporsi injera pesanan kami datang, aku langsung berujar, “Njrit, gede banget!”.
Porsi makan di Ethiopia ini sungguh mengintimidasi. Terbukti kemudian, meski menikmati seporsi injera ini berdua dengan teman, kami tetap tak bisa menghabiskannya. Selain karena rasanya yang memang terasa aneh di lidah karena asamnya, juga karena porsinya yang memang besar.
Padahal, aku lihat sekitarku, pengunjung lainnya asyik saja menghabiskan seporsi injera itu baik sendiri ataupun rame-rame.
Imaji tentang kelaparan di Ethiopia itu semakin memudar dalam lima hari aku di ibukota negara ini, Addis Ababa. Salah satunya saat makan siang di lokasi Internet Governance Forum (IGF).
Setiap jam makan siang, peserta yang sebagian besar dari Ethiopia ini menumpuk makanan di piringnya sampai menggunung. Tidak hanya satu dua orang, tetapi hampir semua. Aku takjub benar meliahtnya. Parahnya, makanan itu kemudian lebih banyak tersisa. Bikin geleng-geleng kepala.
Di hari lainnya, aku dan dua teman lain dari Indonesia menemukan hal serupa. Kami makan malam di salah satu resto memesan daging bakar khas Ethiopia, tibs. Menu ini berupa irisan daging disajikan di atas tungku kecil terbuat dari tembikar. Bagi kami, porsi yang disajikan ini pun termasuk jumbo. Untuk kami bertiga pun lebih dari cukup.
Tentu saja apa yang kami nikmati di sana tidak bisa menggambarkan sepenuhnya apa yang ada di Ethiopia. Namun, cukuplah aku tahu, ketika sekitar 20 juta warga negara ini masih mengalami kelaparan, sebagian lainnya justru makan berlebihan. Kontradiksi.
Leave a Reply