Secara fisik, Bosnia Herzegovina ini indah sekali.
Keindahan itu bisa terlihat, antara lain, dari lansekap Sarajevo, ibu kota negara seluas 51.000 km persegi ini. Sarajevo berada di ketinggian sekitar 500 meter. Kota ini dikelilingi pegunungan Dinaric sehingga lebih mirip lembah. Sungai Miljacka membelahnya dengan air jernih yang mengalir tanpa henti.
Bangunan-bangunan kota ini mempertemukan beragam jejak sejarah dan ideologi. Merekam sejarah panjangnya sebagai tempat di mana nafsu kekuasaan pada zaman silam hingga sekarang sambung menyambung menaklukkannya.
Begitu pula yang terlihat di Bascarsija, kawasan kota tua Bosnia. Kawasan ini menjadi tempat tepat untuk menemukan bagaimana jejak-jejak sejarah membentuk Sarajevo. Di sisi timur kota ini terdapat pasar tua, masjid, serta ikon sederhana kota ini, pancuran air bernama Sebilj.
Bagi warga lokal dan para turis, Bascarsija adalah tempat penting untuk menikmati kota ini. Merujuk pada namanya yang berarti pasar utama, Bascarsija dibangun pada abad ke-14, sebagai bazar atau pasar besar pada era Kaisar Ottoman. Bentuknya sama dengan Grand Bazar di Istanbul, Turki.
Bazar tersusun dari lorong-lorong berisi toko berjejer di kanan kirinya. Ada aneka barang keperluan warga sehari-hari. Namun, saat ini lebih banyak berupa oleh-oleh untuk turis, karena memang kawasan ini sudah menjadi tujuan utama pariwisata.
Hotel Europe, di mana aku tinggal selama di Sarajevo, berada di kawasan ini. Karena itu, aksesnya mudah dan dekat sekali. Tinggal jalan kaki tak lebih dari 10 menit sudah tiba di titik utama Bascarsija, tempat di mana pancuran air Sebilj berada.
Pada pertengahan Oktober lalu, saat aku di sana, cuaca Sarajevo lebih banyak mendung dan gerimis. Namun, aku masih beruntung. Pada hari terakhir di Bosnia, 17 Oktober 2021, cuaca enak bersahabat. Terang. Cerah. Hangat.
Maka, Bascarsija pun dipenuhi ribuan warga. Anak-anak kecil dengan gembira memberi makan merpati bersama orang tuanya. Pasangan muda mojok mandi hangat matahari sambil menikmati kopi dan teh ala Turki. Musik folk ala Balkan mengalun dari pengamen yang duduk lesehan di samping pancuran air.
Musik itu seolah menjadi musik latar perjalanan di Sarajevo. Juga membawa ingatan pada masa lalu tempat ini ini dengan bangunan-bangunan tuanya.
Menara Masjid Gazi Husrev-beg yang berumur lebih dari empat abad, menjulang tinggi. Begitu masuk ke dalamnya, kubah masjid ini menjadi semacam layar setengah lingkaran yang menyajikan fragmen keindahan budaya Islam pada zaman kekaisaran Ottoman. Kubah itu berhias kaligrafi Arab di seluruh sisinya.
Tentu saja ini subjektif karena aku seorang muslim. Namun, rasanya memang damai sekali masuk ke dalam masjid ini. Bisa bersujud di antara keindahah fisik dan spiritual masjid ini. Mendengar suara adzan dan lantunan ayat suci Al-Quran di tempat terpaut ribuan kilometer dari rumah.
Dan, keindahan serupa itulah yang aku temukan secara fisik dan spiritual selama di Bosnia. Kubah dan menara masjid menghiasi penjuru negara ini. Dia berselang-seling dengan gereja dan sinagog. Juga bangunan-bangunan lain yang dibangun pada abad pertengahan.
Hal istimewa yang belum pernah aku temukan di negara-negara Eropa lain yang pernah aku kunjungi, dentang lonteng gereja berpadu dengan suara adzan.
Setelah dua hari pertemuan GERIS di Sarajevo, perjalanan berlanjut ke daerah selatan. Kami naik bus ke Mostar, kota di sisi selatan Bosnia yang lebih hangat. Kami bertemu dengan komunitas lokal yang melaksanakan program untuk menyatukan beragam etnis di negara ini.
Selama tiga jam perjalanan ke kota ini, kami menikmati pemandangan indah sekali. Kami naik turun gunung dengan sungai dan danau memeluk lereng-lereng mereka. Dinding batu gunung berwarna abu-abu bergantian dengan warna hijau toska atau biru langit dari air danau dan sungai.
Sering kali, kami menyusuri tepi danau atau sungai. Melihat refleksi gunung yang seolah berlari ke belakang meninggalkan kami. Kali lain kami hanya menyeberang.
Usai pertemuan dengan tiga kelompok masyarakat sipil, kami berkunjung ke tujuan wisata paling populer di Mostar, Old Bridge alias Jembatan Tua. Jembatan di atas sungai Neretva ini sudah berumur lebih dari 400 tahun. Di bawahnya mengalir jernih air yang memisahkan kota.
Indahnya pemandangan serupa terjadi juga pada saat kami menuju wilayah utara dua hari kemudian. Kali ini kami menuju Republik Srpska, satu dari dua republik di negara Bosnia Herzegovina.
Kota pertama yang kami singgahi dalam perjalanan ke utara adalah Jajce. Begitu masuk kota ini, kami disambut pintu gerbang yang biasanya hanya aku lihat di film-film tentang Abad Pertengahan, seperti Lord of the Ring atau The Hobbit. Kota ini memang dikelilingi benteng yang dibangun pada empat abad lalu.
Di dalam kotanya, Jajce bahkan memiliki air terjun bertingkat. Sayangnya, waktu kami di sini terlalu singkat sehingga tak sempat mengunjunginya.
Di dalam bus menuju Banja Luka, ibu kota Republik Srpska, kami bisa menikmati sungai yang mengalir di bawah kami. Jalan raya penghubung Bosnia bagian selatan ke utara ini memang berada di bibir ngarai. Agak mengerikan jika, misalnya, bus jatuh ke jurang, tetapi sekaligus menawarkan sensasi keindahan.
Musim gugur menghadirkan pepohonan menguning. Juga cuaca yang dingin. Apalagi ke daerah utara.
Dingin itu semakin terasa ketika berdiskusi tentang konflik di Bosnia. Tentang bagaimana beragam etnis dan agama di negara ini terpisah secara fisik dan mental. Pemisahan itu terasa antara lain di Mostar, Jajce, dan kemudian Banja Luka. Nyaris setiap kota di negara ini menyimpan kisah perih terpisahkan oleh perang etnis dan agama.
Inilah kisah lain yang tak tersembunyi di antara keindahan Bosnia. Ancaman yang tak bisa ditemukan hanya dengan melihat secara kasat mata.
Leave a Reply