Memanusiakan Murid dengan Pendidikan Alternatif

10 , , , Permalink 0

Di antara sekian tempat yang kami kunjungi di Jogja dan Jawa Tengah pekan lalu, tempat ini bagiku paling mengesankan. Bertemu murid-murid sangat percaya diri di desa, tempat yang identik dengan keteringgalan, adalah penyebabnya. Rasa percaya diri itu, bisa jadi, karena mereka memang memiliki kemampuan di atas rata-rata anak seumuran mereka.

Usia mereka masih belasan. Antara SMP dan SMA. Tapi mereka jago menulis, bikin peta digital, ngoprek Linux, dan semua kemampuan yang aku tidak bisa. Anak-anak seumur mereka di gangku, di pinggiran Denpasar hanya lebih sering bengong. Atau sesekali duduk rame-rame sambil minum arak. Aku sendiri di usia mereka saat ini mungkin belum tahu apa yang hendak kucari.

Inilah Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah di Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kabupaten Salatiga, Jawa Tengah. Dari Jogja, kami perlu waktu sekitar 2,5 jam lewat tiga kabupaten Klaten, Boyolali, dan Semarang.

Qaryah Thayyibah (QT), artinya desa yang indah, didirikan oleh Serikat Paguyuban Petani QT. Paguyuban petani ini organisasi berbasis komunitas petani pedesaan. Berdirinya pada 14 Agustus 1999. Saat ini, SPPQT tersebar di 15 wilayah. Antara lain Kabupaten Semarang, Temanggung, Magelang, Boyolali, Salatiga, dan Kendal.

Sekolah alternatif di Salatiga adalah salah satu dari sekian kegiatan SPPQT. Sekolah ini berdiri sejak lima tahun lalu. “Kami memulainya dari kepepet,” kata Baharuddin, kepala sekolah alternatif tersebut.

Lima tahun lalu, anak Baharuddin lulus SD. Meski anaknya sudah diterima di SMP 9, salah satu sekolah favorit di Salatiga, Baharuddin masih merasa belum sreg anaknya masuk di sana. Alasannya, biaya sekolah terlalu mahal.

Baharuddin tidak sendiri. Tiga puluh orang tua murid di kampungnya, termasuk dia sendiri, ternyata punya masalah yang sama. Biaya sekolah terlalu mahal. Baharuddin, waktu itu sebagai Ketua RW, mengumpulkan tetangganya.

“Tidak hanya biaya sekolah mahal. Hasil sekolah juga tidak jelas. Lalu kami berpikir kenapa tidak membuat sekolah sendiri saja,” kata Baharuddin.

Dari 30 kepala keluarga, 12 orang bersedia membuat sekolah sendiri. Sisanya menolak. Toh, SMP terbuka itu pun tetap jalan pada minggu ketiga Juli 2003.

Sekolah ini tidak menggunakan kurikulum nasional. Muridnya juga tidak harus seragam. Ada yang pakai. Banyak pula yang tidak.

Tempat belajar mereka adalah ruang kecil milik Baharuddin. Selain di kelas, murid juga bisa semaunya belajar di mana saja. Kadang di depan kelas. Kadang lesehan. Kadang di depan rumah penduduk. Pokoknya suka-suka murid. “Konsep kami memang student centre learning, murid sebagai pusat pembelajaran,” kata Baharuddin, alumni Fakultas Tarbiyah Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Tidak ada mata pelajaran pasti. Kelas akan membahas apa yang memang dicari sama murid. Oya, sekolah ini tidak mengenal guru. “Kami hanya menemani murid belajar, bukan mengajar,” ujar Baharuddin.

Karena berpusat pada murid itu, maka murid yang menentukan semuanya. Pelajaran, jam belajar, seragam, sampai mengisi sendiri nilai raport mereka. Orang tua boleh punya usul, tapi tetap murid yang memutuskan ya atau tidak.

Menggunakan pola ini, murid-murid SMP QT pun bisa belajar karena mereka memang butuh. Bukan dipaksa untuk belajar. Mereka menggali sendiri masalah yang ada di desa mereka, mendokumentasikan potensi desanya, dan seterusnya. Mereka juga jago Bahasa Inggris karena tiap hari ada English Morning.

Kegiatan mereka banyak. Menulis buku, teater, belajar komputer, dan lain-lain. “Kami belajar dari internet,” kata Maya, salah satu murid di sini.

Hampir lupa. Internet memang jadi sumber utama untuk mendapatkan informasi di sini. Selma 24 jam, murid-murid bebas mengakses internet di rumah Baharuddin yang juga jadi sekolah. Ada enam komputer dan laptop yang bisa dipakai bergantian. Awalnya internet ini gratis. Tapi sekarang murid bayar Rp 1.000 per jam.

Dari internet inilah murid-murid menjelajah mencari ilmunya sendiri.

Hasilnya? Macam-macam. Misalnya mereka bisa membuat belasan buku. Ada yang diterbitkan LKiS, penerbit ternama di Jogja. Ada pula yang mereka terbitkan sendiri. Ada yang sudah bikin lagu. Bahkan lagu itu dipakai sebagai lagu nasional (hymne ya istilahnya?) sekolah terbuka.

Ah, masih banyaklah contoh-contohnya. Aku tidak bisa menyebut satu per satu.

Lima tahun berjalan, kini sekolah itu beribu-ribu langkah lebih maju dibanding sekolah negeri sekali pun. Sekadar contoh. Mereka sampai dikunjungi anggota Komisi IX DPR sebagai bahan kajian pendidikan alternatif. Belasan plakat kenangan di ruang belajar memperlihatkan orang dari mana saja yang sudah berkunjung untuk belajar di sini. Ada dari sekolah, universitas, dan lembaga lainnya.

Dari ruang kecil di depan, kini bertambah dua gedung lain. Salah satunya akan dibuat lima lantai. Di antara rumah warga sekitar, gedung ini akan terlihat menjulang tinggi. Setinggi apa yang saat ini telah mereka capai..

Ngobrol dengan Baharuddin, sambil lesehan di ruang tamunya yang pengap, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran. Misalnya bahwa serikat petani ternyata bisa juga terlibat dalam persoalan pendidikan, tidak melulu soal bercocok tanam. Petani bisa mengubah masalah sosial. Aku pikir hal semacam itu hanya bisa kutemukan di Oaxaca, Meksiko yang terkenal sebagai basis petani radikal di Amerika Selatan.

Juga bagaimana pendidikan yang ada selama ini memang cenderung mengasingkan murid dari lingkungannya. “Kita diajari hal tak penting bagi kita dengan pemaksaan halus,” kata Baharuddin. Hasilnya, kita tidak bisa mengenali potensi sendiri. Lalu ketika melanjutkan sekolah kita harus meninggalkan desa. Sebab, kita memang belajar tentang hal di luar kita, bukan tentang apa yang kita punya.

Lainnya, internet bisa jadi guru yang jauh lebih cerdas dibanding guru di kelas. Dengan internet anak-anak itu belajar sendiri tentang apa yang memang mereka cari. Tapi tidak hanya untuk hal-hal serius. Pas aku masuk tempat mereka main internet, murid-murid di sana lagi asik cek akun friendster dan game online. Mungkin itu salah satu cara mereka belajar.. 🙂

10 Comments
  • ekads
    July 5, 2008

    ini membuktikan klo masalah pendidikan bukan hanya urusan guru dan dinas pendidikan saja. tapi masyarakat juga bisa turut serta ambil bagian di dalamnya….

  • wira
    July 5, 2008

    “Atau sesekali duduk rame-rame sambil minum arak”

    depan gang saya juga banyak, tp bukan hanya yg muda, yg tua juga banyak, sambil ngomongin politik

  • wira
    July 6, 2008

    kalau ini baru top om anton..

  • antonemus
    July 7, 2008

    @ ekads: bener, ka. sayangnya bukan mendukung usaha masyarakat, pemerintah malah seringkali menghambat kalau ada ide dr masyarakat soal sekolah alternatif.

    @ wira: mungkin sesekali mereka diajarin cara minum arak yg baik. 😀

    @ wira (lagi?): makasih, om wira. :p

  • mohammad
    July 7, 2008

    kira2 di lamongan ada sekolah macam itu gak ya?

  • antonemus
    July 8, 2008

    @ mohammad: nanti kita bikin. mangkane kita kumpulin duit yg banyak sek. hehe..

  • amir
    August 5, 2008

    alangkah lebih baik apabila sekolah arternatip yang di rintis oleh SPPQT bisa di kembangkan di jawa timu karena untuk menanggulangi presepsi sekolah biaya mahal yang melanda masyarakat jawa timur

  • chabib noor
    August 16, 2008

    sampai usia berapa bisa masuk ke sana ?
    eh… kalo mau ke sana dari terminal salatiga terus ke mana ? Aku punya banyak temen yang ga bisa sekolah lantaran gak punya biaya

  • sitialmasari
    August 18, 2008

    Salam kenal buat mas baharudin
    saya dari malang, weeh keren banget itu idenya pencetus SPPQT. Boleh gak neh ditiru,bisa bagi-bagi triknya ya untuk sekolah model begituan dengan biaya minimalis but manfaat maximalis. gimana ya cara berhubungan dengan mas baharudin langsung?

  • ryan
    February 7, 2010

    salam kenal sama bang baharudin.
    saya salut sama Bang Baharudin yang punya ide untuk merubah pendidikan di indonesia dari yang amburadur menjadi yang teratur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *