Dengan muka mengkerut dan rasa takut, aku menghadapinya.
Bos besar di tempat kerja itu duduk di meja kerjanya. Secara fisik, tubuhnya besar. Begitu pula dengan kasta dan jabatannya. Dia pemilik usaha di mana aku bekerja sebagai sales cat semprot jualannya.
Saat itu perasaanku campur aduk. Takut. Malu. Khawatir. Namun, tidak ada pilihan lain selain menghadapinya. Aku terpaksa menghadapinya.
Keterpaksaan itu bermula dari kesalahan orang lain, teman kerja yang juga ponakan bosku. Dia mendadak tidak masuk kerja lagi. Padahal, ada uang hasil penjualan yang tak dia serahkan. Dan itu tanggung jawab kami berdua. Bukan hanya dia. Teman itu memutus komunikasi dengan kantor.
Dia mungkin punya pilihan untuk lari, tetapi aku tidak. Jika aku menghilang juga seperti dia, bagaimana aku bisa bekerja lagi? Sebagai mahasiswa pas-pasan dan mandiri, aku perlu pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri. Aku butuh pekerjaan.
Lebih dari itu, aku tidak mau lari dari tanggung jawab. Aku tidak mau sepanjang hidup nanti terus diburu oleh rasa bersalah. Karena itulah, aku memilih menghadapinya. Aku harus mempertanggungjawabkannya.
Di depan bos itu, dengan jantung dagdigdug lebih cepat, aku sampaikan bahwa ada hasil penjualan yang tidak kami laporkan. Bahwa aku siap melunasinya jika diberi kesempatan mencicil pembayaran tersebut.
Aku sudah bersiap untuk hal terburuk. Dipecat misalnya.
Namun, jawaban bosku jauh lebih santai dari yang aku bayangkan. Ringkasnya, dia menyadari bahwa itu aku bukan orang yang harus bertanggung jawab atas masalah tersebut. Dia justru menghargai upayaku untuk bertanggung jawab atas kesalahan orang lain.
Tak perlu mencicil untuk membayar. Tidak perlu juga berhenti bekerja karena masalah itu. Aku bisa masuk seperti biasa, menjajakan cat semprot itu dari bengkel ke bengkel.
Kejadian itu sudah lewat hampir 20 tahun lalu. Zaman ketika aku masih jadi anak kos dan bekerja sebagai staf penjualan distributor cat di daerah Kreneng, Denpasar itu.
Namun, bagiku, peristiwa itu menjadi salah satu peristiwa yang aku ingat dalam hidup. Dia menjadi salah satu pelajaran penting, ketika ada masalah, hadapilah. Kau bisa saja berlari darinya, tetapi tak akan bisa bersembunyi dari rasa bersalah jika tak menyelesaikannya.
Hari-hari ini, ingatan peristiwa itu kembali datang. Pemicunya hal serupa, seorang teman yang mendadak hilang ketika dia harus menyelesaikan laporan. Padahal, tenggat semakin dekat dan bahkan kemudian terlewat.
Dia tak merespons pertanyaan lewat apapun jalur komunikasi yang kami gunakan: Wire, Telegram, WhatsApp. Maka, terpaksa kami yang menyelesaikan laporan. Lembur hingga tengah malam biar tidak melewati tenggat.
Sebenarnya, ini bukan kejadian pertama. Sudah pernah terjadi sebelumnya. Parahnya, aku masih juga tidak mengantisipasinya. My bad, sih. Selalu percaya sama orang karena prinsip, setiap orang pasti baik, kecuali terbukti sebaliknya. Setiap orang bisa dipercaya, kecuali terbukti sebaliknya.
Cuma, ya, begitulah adanya. Tidak semua orang bisa dipercaya betapapun besar kita telah memberikannya.
Masalahnya adalah ketika pekerjaan itu terkait dengan orang lain. Bukan urusan pribadi semata. Hanya karena tidak ada komunikasi, menghilang begitu saja, maka ada orang lain yang harus pontang-panting mempertanggungjawabkannya.
Karena itu, bagiku, komunikasi dalam kerja tim itu sangat penting. Pun jika itu kerjaan pribadi untuk pihak lain. Pengalamanku sendiri, meski aku sangat membencinya, kadang-kadang bisa dimaklumi kok kalau pekerjaan agak molor dari tenggat. Asal ada alasan dan masih masuk akal, keterlambatan menyelesaikan sesuatu pasti masih bisa diterima.
Hal lebih menyebalkan justru ketika lari, menghilang dari semua saluran komunikasi, dan tak merespons sama sekali.
Sebalnya, memang selalu ada orang-orang semacam ini. Kayaknya santai saja ketika dia hilang, bisa jadi memang sengaja, ketika belum menyelesaikan pekerjaannya. Atau pura-pura melupakan tanggung jawabnya.
Ada pekerja, misalnya, yang mendadak susah dikontak ketika dia sedang mengerjakan sesuatu dan hasilnya ditunggu-tunggu. Ada yang mendadak tidak merespons sama sekali pertanyaan ketika dia sudah melewati tenggat waktu untuk mengirim hasil pekerjaan.
Sayangnya, untuk orang-orang semacam itu, kepercayaan saja tidak cukup. Harus tegas dan tega. Sayangnya lagi, aku tidak punya cukup kekuatan menghadapi orang-orang semacam itu. Hiks..
Leave a Reply