Tak Apa kok Memaksa Bani untuk Berkolaborasi

0 Permalink 0

Lumayanlah dicatat sebagai sebuah pencapaian baru.

Untuk pertama kali tulisan opiniku dimuat The Jakarta Post edisi cetak pada 26 Oktober lalu. Istimewanya, karena meskipun sudaheh, pernah ding – jadi kontributor media berbahasa Inggris ini sejak 2006, baru kali ini nulis di kolom opini.

Biasanya hanya menulis feature, rutinitas yang sudah aku lakukan sejak pertama kali jadi wartawan pada 2001 silam, tetapi kali ini dalam bentuk opini. Rasa dan bangganya tentu saja berbeda.

Lebih menyenangkan lagi, karena opini ini berdasarkan kolaborasi bareng Bani. Seperti biasa, dia bagian menerjemahkan tulisan ayahnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Dan, inilah bagian paling menyenangkannya: kami semakin rajin berkolaborasi dalam kerja-kerja profesional sekalipun.

Kolaborasi ini bukan yang pertama. Dia melakukannya pertama kali pada 2018 ketika aku dapat pekerjaan menerjemahkan materi keamanan digital dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Karena waktu itu materinya banyak dengan waktu agak mepet, jadi aku pun tawarkan saja apakah dia mau bantu.

Dia mengiyakan.

Secara umum, hasilnya bagus. Untuk ukuran anak SMP, kualitas penerjemahannya sudah oke. Kira-kira 80 persen dari kualitas yang aku bayangkan. Sisanya hanya salah ketik atau pemilihan diksi yang kurang tepat. Mungkin karena dia juga kurang tahu konteksnya.

Tak hanya dari sisi kualitas hasil pekerjaan yang oke. Dari sisi keterandalan (reliabilitas), menurutku juga dia bisa diandalkan. Tepat waktu. Meski ya dia anaknya moody persis ayahnya, tetapi tetap oke. Lumayan terujilah untuk bekerja di bawah tekanan.

Hasil akhir kolaborasi pertama kami bisa dibaca di situsweb milik Tacticaltech, lembaga non-pemerintah yang fokus di isu teknologi untuk masyarakat sipil yang berbasis di Berlin, Jerman.

Pemberi kerja senang. Ayahnya senang. Bani tentu saja juga senang karena mendapat bayaran lumayan besar bagi abegeh seumurannya untuk pekerjaan yang dia lakukan sambil belajar. Lebih penting lagi, membuat dia bisa lebih percaya diri bahwa dia memiliki kemampuan.

Lantjar djaja dengan kolaborasi profesional pertama, kami melanjutkan dengan kolaborasi lain, baik berbayar ataupun tidak. Dia, misalnya, membantu menerjemahkan Laporan Situasi Hak-hak Digital di Indonesia 2019 yang dibuat SAFEnet hingga sekitar 50 persen dari laporan. Terjemahan itu lalu itu diperiksa ulang oleh Yon, sukarelawan SAFEnet yang pernah bekerja di media berbahasa Inggris dan ikut menerjemahkan laporan ini juga.

Sekali lagi, kualitas dan reliabilitasnya bisa diandalkan.

Lalu, kolaborasi-kolaborasi lain pun terus berlanjut. Beberapa yang aku ingat di antaranya membuat terjemahan (subtitle) di video laporan ke SpendeDirekt, lembaga dari Swiss yang mendukung program-program BaleBengong. Aku membuat videonya, Bani membuat terjemahannya.

Pas malam-malam kami lembur mengerjakan terjemahan video ini, aku malah baru tahu kalau dia sudah terbiasa melakukan hal serupa, menerjemahkan video-video dari bahasa Indonesia ke Inggris atau sebaliknya. Semua dia lakukan dengan sukarela. “Karena suka saja,” katanya.

Dia juga kemudian menerjemahkan laporan sepanjang sekitar 1.000an. Cuma semalam pun beres dan siap dikirim ke pihak lain.

Terakhir, hari ini kami menyelesaikan penerjemahan ke bahasa Inggris akta Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara alias SAFEnet. Padahal, dia sempat menolak karena berkasnya dalam format pdf. Setelah ayahnya ubek-ubek sebentar, akta itu pun siap dalam format .odt.

Dan, sim salabim, dalam semalam kami menyelesaikan penerjemahan akta sepanjang 25 halaman itu pun selesai. Aku 15 halaman, dia 10 halaman. Kami tepat menyelesaikannya di hari tenggat pengiriman. Legaaa… Tanpa bantuan Bani, pasti akan repot sekali.

Jadi, kolaborasi apalagi setelah ini, Mabro?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *