Pak Polisi, Khotbahmu Norak Sekali!

0 , , Permalink 0

Sejujurnya aku agak takut di tengah kepungan itu.

Pertama, aku memang punya trauma dengan kerumunan. Tiap kali berada di tengah riuh banyak orang, aku suka membayangkan hal-hal buruk: kerusuhan, tawuran, penembakan, atau bahkan terorisme.

Trauma itu punya alasan.

Ketika SMP, aku pernah beberapa kali terjebak di tengah tawuran. Biasanya saat ada perayaan Agustusan di kampung pantura Lamongan, Jawa Timur sana. Geng anak-anak kampung, yang entah karena kurang hiburan atau memang energinya berlimpahan, suka selali tawuran kalau sudah ada orkes dangdut untuk merayakan Hari Kemerdekaan.

Beberapa kali aku melihat remaja seumur kakakku berdarah-darah kepala atau mukanya karena tawuran, termasuk yang kepalanya remuk dihantam dengan kursi kayu.

Kejadian semacam itu membekas. Makanya, aku paling benci kalau sudah diajak nonton konser musik hingga saat ini.

Trauma juga mungkin karena kejadian huru-hara lainnya: kerusuhan di Bali pada Oktober 1999 ketika Megawati Soekarnoputri tidak terpilih sebagai presiden setelah pemilu demokratis pertama setelah tumbangnya Orde Baru dan dua kali pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005.

Alasan kedua ketakutanku pada 22 Oktober 2020 lalu, suasana saat itu memang menyeramkan. Para mahasiswa berada di tengah-tengah. Sekitar 300 mahasiswa berkumpul di depan halte Jl Sudirman, Denpasar persis di depan Kampus Universitas Udayana. Berpakaian dominan hitam-hitam, mereka beraksi bersama buruh dengan menduduki jalan raya.

Polisi dan pecalang, satuan pengaman adat Bali, mengepung mereka berlapis-lapis. Di sisi selatan, berjarak sekitar 300 meter dari mereka ada pasukan pengendalian massa (Dalmas) bersenjata lengkap dengan pentungan dan pelindung seluruh tubuh dari kaki hingga kepala. Di depannya, ada barisan pecalang berkaos hitam dan pakaian adat madya berbaris sama rapinya.

Di bagian paling depan, berjarak hanya sekitar 10 meter dari massa aksi, tiga baris polwan berdiri dengan memakai masker bedah, pelindung wajah, dan topi. Masing-masing juga membawa masker untuk dibagi ke peserta aksi yang tidak memakainya.

Lapisan pasukan serupa berada di sisi utara massa aksi meski tanpa polwan. Di sisi barat massa aksi, pasukan dalmas juga siap sedia berjaga-jaga meski terlihat lebih santai. Tidak berbaris rapi seperti di sisi utara dan selatan massa aksi.

Lalu, di sisi timur, kampus yang seharusnya menjadi rumah berlindung bagi mahasiswa dan maksa aksi, justru menutup pintu gerbang lengkap dengan satpam yang menjaga. Dalihnya, hari itu sedang ada penyemprotan disinfektan untuk mencegah penularan COVID-19.

Kampus yang memalukan!

Seramnya pasukan pengamanan aksi, yang jumlahnya bisa 2-3 kali massa aksi itu, masih ditambah dengan polisi berpakaian preman maupun unit khusus jatanras yang membawa borgol dari nylon, mirip yang biasa dipakai mengikat kabel.

Oya, masih ada pula kendaraan taktis penyemprot gas air mata di bagian paling belakang polisi. Moncongnya sudah mengarah ke massa aksi, seolah siap menyemprotkan gas air mata kapan saja untuk membubarkan massa.

“Teror” secara fisik itu makin lengkap dengan intimidasi mental dari petugas kepolisian. Dan, inilah bagian paling provokatif dari semua tindakan polisi pada saat mengepung aksi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Kamis sore hingga petang itu.

Salah seorang perwira, terus menerus berkhotbah dengan pengeras suara mengarah ke massa aksi sepanjang aksi demonstrasi. Dalam bahasa Bali yang terdengar mirip orang sedang memimpin sembahyang di pura, dia menyarankan agar mahasiswa tetap menerapkan protokol pencegahan penularan COVID-19.

“Karena semakin banyak warga yang meninggal karena COVID-19, maka mohon agar mahasiswa tetap memakai masker dan menjaga jarak selama melakukan aksi,” katanya dalam bahasa Bali halus. Suaranya keras mengalahkan suara mahasiswa yang sedang berorasi.

“Mohon agar mahasiswa segera membubarkan diri karena aksi hanya diperbolehkan hingga pukul 6. Jika tidak bubar, kami akan lakukan tindakan,” lanjutnya dalam khotbahnya lagi setelah beberapa menit sempat berhenti.

“Adik-adik mahasiswa kami ingatkan, waktu Anda tinggal 10 menit lagi. Silakan segera pulang ke rumah dengan hati-hati. Semoga selamat sampai rumah masing-masing,” cerocosnya beberapa saat kemudian.

Kata-katanya mungkin halus dan arif bijaksana. Namun, ketika dilakukan dengan pengeras suara mengarah ke massa aksi bahkan di saat ada yang berorasi, maka omongan-omongan polisi itu jelas-jelas memang bertujuan untuk memprovokasi.

Pada satu waktu, dia bahkan dengan jelas membantah orasi Ni Kadek Vanny Primaliraning, Direktur LBH Bali perihal penyitaan SIM sopir mobil pikup yang membawa pelantang suara (sound) untuk aksi. “Adik-adik mahasiswa, jangan percaya hoaks. Tidak benar polisi menyita SIM sopir. Tidak benar itu,” teriaknya.

Berada di tengah massa aksi. Bergerak ke sana kemari dengan kartu pers menggantung di dada agar terlihat oleh mahasiswa dan polisi, sebagai bagian dari standar keamanan saat meliput aksi, aku bisa melihat sendiri bahwa semua yang dilakukan polisi sore itu memang berlebihan. Pengamanan oleh mereka terlalu menyeramkan.

Lebih-lebih khotbah salah satu perwira mereka. Norak sekali. Seumur-umur aku ikut atau menolak aksi, baru kali ini aku melihat tindakan polisi dengan provokasi murahan begitu. Ironisnya lagi, dia terjadi pada rezim (seolah-olah) sipil yang dulu digadang-gadang akan membawa Indonesia lebih peduli pada demokrasi, Jokowi.

Catatan: tulisan ini dibuat saat ikut Klub Menulis BaleBengong dengan tema Mosi Tidak Percaya.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *