Akhirnya aku lulus ujian perpanjangan SIM C juga.
Agak deg-degan juga pada saat ujian Audio Visual Integrated System (AVIS) yang kedua kalinya di Markas Poltabes Denpasar tiga hari lalu. Khawatir tidak lulus lagi seperti ujian teori sebelumnya.
Syukurlah, kali ini hasil ujiannya lebih baik. Dari 30 soal, hanya 3 jawaban salah dari maksimal 4 salah untuk bisa lolos. Berbekal Surat Hasil Ujian Teori SIM itu, aku pun melenggang kangkung ke proses selanjutnya.
Wajah polisi di bagian pengurusan SIM benar-benar berubah dibanding apa yang aku tahu sebelumnya. Sekarang mereka semua terbuka dan ramah. Tak ada lagi wajah-wajah cemberut setidaknya ketika aku di sana. Penuh senyum ketika melayani warga.
Senang sekali mengalaminya.
Proses pengurusan perpanjangan SIM selanjutnya pun terasa lebih mudah. Berbekal surat sehat dan bukti lulus ujian teori, mengisi form pembayaran, bayar Rp 75.000, verifikasi oleh petugas, foto dan rekam sidik jari, lalu duduk menunggu. Wallaaa, SIM C baru pun jadi.
Semua terlihat begitu sempurna sampai kemudian jalan raya menyadarkanku lagi. Perilaku di jalan raya, jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan ujian teori di kantor polisi.
Terlalu banyak pelanggaran di jalan jika mengacu pada semua teori yang tadi aku lihat selama ujian AVIS.
Kira-kira lima tahun terakhir, aku makin sering melihat kesemrawutan para pelaku lalu lintas di Denpasar itu. Sesuatu yang dulu rasanya tidak ada di kota ini.
Paling mudah sekarang bisa dilihat di lampu merah. Menurut teori ujian SIM, pengguna kendaraan bermotor tidak boleh melewati garis putih tanpa putus di jalan raya. Toh, pengguna sepeda motor ataupun bebas merdeka tanpa rasa berdosa cuek bebek diam di sana.
Ada lagi contoh lain, larangan berhenti di pengkolan belok kiri. Sekarang, tiap saat kita bisa melihatnya di Denpasar. Tidak hanya pengendara sepeda motor tapi juga pengemudi mobil bisa dengan santainya berhenti di lajur kiri saat lampu merah padahal dia mau lurus.
Kalau mau dibuat daftar contoh pelanggarannya bisa lebih panjang lagi: naik sepeda motor bertiga atau berempat, menyetir mobil tanpa sabuk pengaman, anak-anak SD atau SMP ngebut naik motor tanpa helm, dan seterusnya.
Semua bisa terjadi karena ada pembiaran dari polisi. Awalnya hanya satu dua orang. Tapi, karena polisi membiarkan, akibatnya semua orang bebas untuk melanggar aturan itu.
Kadang-kadang sampai ngelus dada prihatin melihatnya. Polisi cuek bebek membiarkan pelanggaran terjadi di depan matanya sendiri.
Benarlah adanya. Semrawutnya lalu lintas memang menunjukkan acak adutnya penegakan hukum di negara ini. Tidak hanya karena tidak tegasnya polisi tapi juga ego warganya yang saling serobot mau menang sendiri.
Leave a Reply