Adu Digdaya di Belantara Jalan Raya

1 , , Permalink 0

lalul intas denpasar

Makin hari, jalan raya di Denpasar makin mirip rimba.

Pemenangnya adalah mereka yang berani dan nekat. Sesekali, bila perlu, harus melotot atau bahkan adu mulut dengan sesama pengguna jalan raya.

Saya hampir tiap hari mengalaminya. Kadang sebagai korban, ketika posisi saya lebih lemah. Kadang sebagai pelaku, ketika nekat saya sudah kumat.

Ini sekadar contoh kejadian sehari-hari.

Hampir tiap pagi saya mengantar anak ke sekolah dengan sepeda motor. Di kota tanpa transportasi publik ini, tentu saja kendaraan pribadi adalah jalan terbaik. Begitu pula bagi kami.

Begitu keluar dari gang, saya merasa sudah seperti menyabung nyawa. Jalan Subak Dalem, di mana kami tinggal termasuk daerah pinggiran di Denpasar. Toh, ramainya kendaraan pun tidak kalah dengan pusat keramaian.

Sepeda motor dan mobil wara-wiri di jalan yang lebarnya ngepas untuk dua mobil ini. Sudah begitu, pengemudinya ngebut-ngebut lagi. Was wus was wus di jalan perumahan.

Sesekali pemain akrobat lewat: anak-anak SD ngebut tanpa helm, ABG naik motor sambil main ponsel, juga mobil segede gambreng yang mengambil jalur kanan.

Sering kali saya bayangkan. Jika saya menyeberang jalan kecil itu tanpa lihat kanan kiri, bisa jadi akan ada yang langsung menabrak. Padahal ini di jalan kecil perumahan.

Maka, keluar gang yang memang agak di pengkolan, saya harus tolah-toleh kanan kiri setidaknya dua kali. Untuk meyakinkan bahwa jalanan sudah aman bagi kami untuk menyeberang.

Begitu masuk jalan raya lebih besar di Gatsu I atau Gatot Subroto itu sendiri, bahaya lebih besar langsung menanti.

Jalan Gatot Subroto termasuk jalan utama di ibu kota Provinsi Bali ini. Dia penghubung antara Denpasar dengan kota-kota lain seperti Tabanan di barat dan Gianyar di timur.

Kendaraan yang lewat Jalan Gatot Subroto tidak hanya pengguna kendaraan pribadi. Bus-bus antar-kota antar-provinsi dan truk-truk besar pengangkut aneka barang kebutuhan pokok juga lewat sini.

Selain kendaraan-kendaraan besar itu, tentu saja kami harus bersaing dan bertarung dengan sesama pengguna kendaraan pribadi itu sendiri. Kelakuan mereka, bisa jadi termasuk saya, lebih gila lagi.

Saling serobot. Saling salip. Salin ngebel. Semua makin menjadi sarapan kami tiap pagi. Sesuatu yang seingat saya tidak terjadi di Denpasar 10 tahun lalu.

Pernah suatu hari saya dan anak berhenti di lampu merah perempatan Jalan Gatot Subroto – Jalan Nangka, jalan yang tiap hari saya lewati. Posisi saya sudah jelas di garis putih pembatas di mana para pengendara harus berhenti.

Kami menunggu lampu merah berganti ke kuning sebelum ke hijau.

Ketika masih menunggu, mobil di belakang kami sudah tan tin tan tin ngebel berkali-kali. Ternyata karena dia mau nyerobot curi start ketika lampu masih merah. Hal semacam itu juga makin sering terjadi.

Begitulah perilaku buruk lain di jalan raya Denpasar saat ini. Saling serobot ketika menunggu lampu merah. Bukannya berhenti manis di garis pembatas, sekarang makin banyak saja yang berhenti melewati garis.

Mereka mengambil lajur kiri meskipun hendak jalan lurus. Padahal, lajur kiri itu seharusnya kosong agar kendaraan yang akan belok kiri bisa langsung jalan.

Toh, makin hari, makin banyak pengguna kendaraan di Denpasar yang cuek bebek pada hal-hal sederhana itu. Ya pengendara sepeda motor, ya pengguna mobil.

Belum lagi soal etika menyeberang. Setahu saya, di mana-mana penyeberang jalan selalu diutamakan. Seharusnya, para pengguna kendaraan pribadi akan langsung berhenti ketika ada orang menyeberang jalan.

Di sini, aturan itu tidak berlaku. Atau mungkin tidak ada yang tahu. Pejalan kaki maupun pengendara kendaran yang menyeberang harus nekat. Tidak ada toleransi bagi mereka meskipun membawa anak kecil seperti yang tiap hari saya alami.

Pokoknya harus nekat, berani, dan nyolot sesekali. Jika tidak, kita dianggap tidak ada. Begitulah hukum rimba berlaku di jalan raya.

Perubahan perilaku pengguna jalan raya, bisa jadi menunjukkan juga watak warga kotanya. Ketika jalan raya sudah makin serupa belantara begitu, bisa jadi makin hilang pula tenggang rasa dan toleransi pada warganya. Tidak ada tempat bagi mereka yang lemah. Semua harus saling sikut dan sikat.

Di situlah kadang saya mengelus dada. Haruskah anak-anak kami menjadi korbannya?

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *