Selamat ulang tahun kesembilan, Sloka Institute.
Ternyata bisa juga berjalan hingga tahun kesembilan. Tidak hebat-hebat amat. Tapi lumayanlah masih bisa hidup dan menjaga nyala agar tidak redup.
Ulang tahun Sloka yang kesembilan kami rayakan tiga hari lalu. Hanya 10-an orang yang hadir karena kami memang merayakannya secara internal saja. Tidak seperti tahun lalu yang mengundang banyak teman dan jaringan.
Seperti biasa. Ada titip lilin dan ulang tahun. Ada juga laporan ke pembina dan pengawas yang sayangnya hanya diwakili masing-masing satu orang. Tapi ya tak apa. Jalan saja.
Setahun terakhir, perjalanan Sloka lumayan naik turun juga. Tahun lalu, tiga staf berhenti dengan alasan beragam. Ada yang memilih bekerja dari rumah, meskipun kemudian akhirnya bekerja tetap di tempat lain juga. Ada yang pada awalnya izin cuti, eh malah keterusan bekerja di tempat lain. Ada juga yang ingin fokus menyenangkan orangtua.
Apa mau dikata. Lembaga kecil tempat belajar memang harus selalu siap ditinggalkan. Apalagi memang hak tiap orang untuk memilih mau kerja apa dan di mana. Jadi ya terima saja.
Perginya tiga staf sih sangat berpengaruh pada kami. Lha wong cuma ada enam orang di Sloka termasuk aku yang hanya sebagai penggembira. Tapi ya mau apa lagi. Yayasan yang kami dirikan sembilan tahun lalu itu tetap harus berjalan.
Sejak tahun lalu, sembari masih kerja penuh waktu di VECO Indonesia, aku harus ngurus Sloka lagi. Lebih intens dibanding dua tahun sebelumnya ketika ada teman yang jadi direktur. Apalagi karena sejak September 2015 lalu kami ada program bersama HIVOS lewat proyek Making All Voices Count (MAVC).
Program Awasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui media jurnalisme warga ini akan berjalan hingga akhir tahun 2016 nanti. Tujuannya mengajak publik dan penyedia layanan JKN untuk aktif menggunakan media sosial dan media online untuk berbagi informasi tentang JKN.
Aku pribadi sih belajar banyak dari program ini, terutama dalam membangun kolaborasi dengan pemerintah.
Di luar program baru bersama HIVOS lewat MAVC, kami juga melaksanakan program atau kegiatan lain, seperti jurnalisme warga di kawasan pesisir Bali dengan Conservation International (CI) Indonesia, kelas menulis untuk anak-anak penghuni penjara bareng Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), pengelolaan media sosial VECO Indonesia, pembuatan buku manual kopi IDH, dan beberapa lembaga lain.
Obat kuat di antara lesunya Sloka tahun lalu adalah lolosnya BaleBengong sebagai satu-satunya media jurnalisme warga yang mendapatkan beasiswa liputan dari CFI, lembaga pendukung kebebasan media dari Perancis.
Di antara tertatih-tatihnya kondisi internal setelah ditinggal tiga orang, bisa juga Sloka tetap berjalan. Sekali lagi memang tidak luar biasa. Tapi di antara jatuh bangunnya LSM lain di Bali, lumayanlah kami masih bisa bernapas dan berjalan.
Setahun ke depan, mari berjalan lagi. Berjuang sebisanya dengan modal apa adanya. Seperti kata Navicula dalam lagu terbarunya Suara Hati, “Esok adalah misteri. Hiduplah untuk hari ini..”
Leave a Reply