Hingga pagi hari menjelang pelatihan aku masih agak grogi.
Pertama karena peserta pelatihan menulis ternyata lebih banyak dibandingkan rencana awal. Menurut kerangka acuan panitia, peserta 20 orang. Eh, ternyata sampai 30 orang.
Aku belum pernah memandu pelatihan dengan jumlah peserta lebih dari 20 orang. Kalau hanya seminar atau diskusi sih oke-oke saja. Kalau untuk pelatihan kurang pas. Jika peserta lebih dari 20, biasanya kelas jadi kurang dinamis.
Alasan kedua, aku “terintimidasi” nama besar WWF. Semalam sebelum pelatihan, aku baca-baca beberapa artikel di website WWF. Tulisannya sudah bagus-bagus.
Jika tulisannya sudah bagus-bagus, buat apa lagi ikut pelatihan? Tidakkah nantinya garing karena peserta toh sudah paham semua materinya?
Hingga pagi hari pada hari pertama pelatihan, aku masih deg-degan. Jangan-jangan garing. Jangan-jangan sudah pada jago menulis. Jangan-jangan ini. Jangan-jangan itu.
Tapi, begitulah. Kekhawatiran berlebihan memang penyakit bagi mereka yang mau memulai sesuatu.
Satu-satunya jawaban, the show must go on! 🙂
Pelatihan menulis dilaksanakan pada dua hari akhir April 2015 lalu di Denpasar. Aku diminta WWF menjadi fasilitator pelatihan.
Peserta pelatihan staf WWF Indonesia dari berbagai lokasi program, seperti Maluku, Wakatobi, Bali, Papua, dan Jakarta. Ada sekitar 30 staf yang ikut.
Ada hal-hal baru yang bisa jadi pelajaran bagiku sendiri tentang bagaimana mengelola pelatihan menulis dengan jumlah peserta lebih dari 30 orang namun tetap interaktif dan partisipatif.
Pertama, bagilah dalam kelompok. Biasanya, kalau pelatihan hanya diikuti 10-15 orang, semua tugas dilakukan secara personal. Kali ini dalam kelompok antara 3-4 orang.
Dengan begitu, tugas yang akan dilihat juga kurang lebih sama, 10. Jadi memudahkan untuk menilai.
Kedua, libatkan peserta dalam proses. Ini kan kelas belajar ala orang dewasa, bukan anak SD apalagi TK. Jadi semua peserta bisa belajar satu sama lain di antara mereka.
Caranya melalui simulasi dan praktik. Ajak peserta terlibat untuk mengamati referensi dan menyimpulkan poin-poin yang ingin dipelajari dalam pelatihan.
Misalnya, apa itu berita, kenapa berita itu menarik bagi mereka, apa saja struktur, bagaimana menulis berita yang baik, dan seterusnya. Peserta belajar dengan caranya sendiri.
Hasil tulisannya kemudian didiskusikan bersama. Ada evaluasi dari peserta lain. Fasilitator ngapain? Ya memandu. Memberikan pertanyaan, pertanyaan, pertanyaan, baru kesimpulan jika memang dibutuhkan.
Setelah dua hari pelatihan, hasilnya sih menyenangkan. Semua kelompok bisa menyelesaikan tiga tulisan: berita kisah, berita profil, dan artikel opini. Kualitasnya bagus-bagus. Topiknya juga beragam.
Bagiku sih menyenangkan. Seperti juga komentar salah satu staf WWF yang juga panitia setelah kegiatan. “Bagus kok, Mas. Semuanya mengaku puas dengan materi dan metodenya,” katanya.
Leave a Reply